Khotbah oleh Pendeta Eric Chang
Kita akan
membahas tentang mengapa Kristus harus mati. Mengapa Yesus memberikan
dirinya kepada kita? Anda mungkin akan segera menjawab,
"Mudah saja. Saya tahu jawabannya. Yesus mati untuk menyelamatkan kita."
Ini adalah jawaban yang sederhana untuk persoalan
yang sangat penting ini. Benar, memang benar Yesus mati untuk
menyelamatkan kita, tetapi itu hanya sebagian dari kebenaran. Anda
mungkin berkata, "Kristus mati karena dia mengasihi kita!" Ini
juga merupakan jawaban yang sering kita dengar. Apakah
ini salah? Tidak, jawaban ini benar,
tetapi juga masih belum kebenaran yang seluruhnya.
Wujudkan
tujuan dari kematian Yesus, bukan hanya menangisi
kematiannya!
Jadi,
mengapa Yesus mati? Apa rencana kekal Allah lewat kematian
AnakNya Yesus Kristus? Apakah Allah
mempunyai suatu tujuan? Jika kita berkata bahwa Yesus mati karena
dia mengasihi kita, yang sedang kita gambarkan
sebenarnya adalah niat atau motivasi hati. Akan
tetapi jawaban itu tidak menjelaskan untuk apa Yesus
mati. Jika saya bertanya, "Mengapa Yesus
mati?" yang sedang ditanyakan bukanlah motivasinya atau
hal yang mendorong dia untuk melakukan itu. Yang sedang saya tanyakan
adalah apa rencana kekal Allah lewat kematian AnakNya?
Apa rencana kekal itu memang ada? Jadi, pertanyaan tentang motivasi
kematian Yesus berbeda dengan tujuannya.
Motivasinya memang kasih. Tapi apakah tujuan dari
kematiannya?
Saat saya
berbicara tentang salib, saya tidak akan mencoba untuk menggambarkan
bagaimana mereka menancapkan paku ke tangan dan kaki Yesus dan
tentang rasa sakit dan penderitaan yang
dialaminya. Anda bisa merenungkannya
sendiri. Namun perlu diketahui bahwa penderitaan
jasmani bukanlah pokok yang utama. Dan jika saya ingin berbicara tentang
penderitaan rohani, saya juga tidak bisa
menggambarkannya karena saya sendiri tidak memahaminya! Siapa di antara
kita yang bisa memahami penderitaan rohani Kristus? Kita tidak berada
dalam posisi mampu memahaminya karena kita ini sangat tidak peka
terhadap dosa. Dosa tidak membuat kita merasa risih. Lalu, bagaimana
kita bisa memahami orang yang merasa risih dengan dosa? Yang hatinya
hancur melihat dosa? Kita tidak bisa memahaminya!
Sebagai
contoh, jika Anda bertumbuh dengan kebiasaan hidup bersih, Anda tidak
akan dapat memahami perilaku anak-anak yang senang bermain di lumpur.
Sangat menyenangkan buat dia saat melumuri wajahnya dengan lumpur. Tapi
bagi Anda hal itu sangat jorok. Akan tetapi anak
yang terbiasa bermain dengan lumpur tidak merasa bahwa itu jorok. Anda
berbicara dalam bahasa yang tidak dipahaminya karena dia tidak
merasa bahwa lumpur itu jijik. Bagi dia, "Ini
sangat menyenangkan! Senang sekali bisa bermain dengan
lumpur." Demikianlah, Anda mungkin berkata,
"Asyik sekali berbuat dosa. Sangat menyenangkan." Lalu orang lain yang
peka dengan dosa akan meratapi dosa namun
Anda berkata, "Aku tidak mengerti. Kenapa dia bereaksi begitu
keras?" Itulah persoalannya, kita tidak peka dengan
dosa.
Jadi,
saya tidak akan mencoba untuk memahami apa yang alami
oleh Yesus di kayu salib, karena jika kita belum mencapai kepekaan
rohani seperti dia, maka kita tidak akan mungkin
bisa memahami hal ini. Sampai pada batas tertentu, kita masih bisa
memahami arti kepedihan. Akan tetapi, tetap saja kita tidak
bisa memahami penderitaan di kayu salib. Pokok yang
utama bukanlah pada masalah penderitaan jasmani. Lagi pula, Yesus
bukanlah satu-satunya orang yang pernah disalibkan oleh penguasa Romawi.
Terdapat ribuan orang yang disalibkan oleh pihak
Roma. Di dalam pemberontakan Spartakus, misalnya, di jalan yang menanjak
ke arah kota Roma berjajar kayu salib. Penyaliban adalah hukuman
yang dijatuhkan pada banyak orang pada zaman itu. Jadi,
jika penderitaan jasmani yang dialami oleh Yesus membuat kita meneteskan
air mata, lalu bagaimana dengan penderitaan orang lain yang juga
disalibkan? Penderitaan jasmani bukanlah pokok yang
utama.
Yang
utama adalah penderitaan rohaninya, dan hal ini
justru tidak kita pahami. Itu sebabnya Yesus ke
taman Getsemani, ke tempat yang maha kudus dan tidak bisa kita ikuti,
karena kita tidak memahaminya. Sekarang, orang tidak peka terhadap dosa.
Bahkan orang Kristen juga tidak peka terhadap dosa. Sangatlah
menyedihkan melihat betapa mereka mampu melukai hati orang lain, betapa
orang Kristen bisa menjadi sangat tidak berperasaan, sangat tidak ramah,
bejat, pesimis dan daftar dosa orang Kristen sangatlah panjang.
Secara rohani, orang Kristen benar-benar sangat jauh dari Tuhan.
Bagaimana bisa mereka mengerti apa yang ditanggung oleh Yesus? Bagaimana
saya, yang secara rohani tidak peka ini, bisa memahaminya? Saya memang
sedih melihat dosa, akan tetapi kesedihan itu masih terlalu jauh dari
kesedihan yang diderita oleh Yesus. Jadi,
bagaimana saya bisa kita memahami penderitaan rohani yang dialami
oleh Yesus di atas kayu salib?
Karena
saya tak mampu mendalami kepedihan atau penderitaannya, maka yang bisa
saya lakukan hanyalah mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar, untuk
apa Yesus melakukan itu semua? Apakah yang
menjadi tujuannya? Apakah yang menjadi rencana kekal Allah dalam
mengutus Yesus untuk mati? Apakah Allah punya rencana kekal itu? Dan
jika memang demikian, apakah itu rencana kekal itu?
Dan
dengan kasih karunia dan kuasanya, jika kita bisa mendapatkan gambaran
tentang tujuannya maka setidaknya kita bisa
berusaha agar tujuan dari kematiannya itu dapat terwujud di dalam hidup
kita. Demikianlah, kita beralih dari urusan pemahaman emosional akan
kematian Yesus, menuju kepada definisi aktif yang nyata tentang tujuan
dari tindakan itu. Dan saya yakin bahwa hal ini akan lebih menyenangkan
hati Tuhan. Jadi tujuan kita sekarang
adalah untuk mengetahui untuk apa Yesus mati bagi
kita? Dan bagaimana saya bisa, dengan pertolongan
Allah, mewujudkan tujuan itu di dalam hidup saya?
Apa
yang ingin dicapai oleh Allah lewat kematian Yesus?
Saya akan
bagikan empat kutipan Alkitab dari tulisan Rasul Paulus. Jika Anda
bertanya kepada rasul Paulus, "Paulus, apakah tujuan Allah di dalam
kematian Yesus bagi saya? Apakah rencana kekal yang ada di balik hal
ini? Hal apakah yang ingin dia capai?" Biar Paulus langsung yang
berbicara pada kita lewat keempat kutipan ini
1.
Titus 2:14 - Yesus mati demi suatu visi
·
Yesus mati dengan sukarela bagi kita
Pertama-tama, kita melihat di Titus 2:14.
Surat Titus adalah surat Paulus yang dia tujukan
kepada rekan sekerja dan murid yang dia latih di dalam pekerjaan Tuhan.
Agar tetap pada konteksnya, kita akan membaca dari ayat 11.
Karena
kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia
mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan
duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam
dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang
penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan
Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi
kita (untuk apa?) untuk membebaskan kita dari segala kejahatan
dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri,
yang rajin berbuat baik.
Jangan
hanya berhenti membaca di 'telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk
membebaskan kita' - kita tidak boleh berhenti di sini, karena
berhenti di sini berarti tidak jujur pada keseluruhan jawaban. Yang
telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari
segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat,
kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.
Inilah
jawaban Paulus. Perhatikanlah kata-kata yang telah menyerahkan
diri-Nya. Jangan pernah berpikir bahwa nyawa Yesus direnggut oleh
Bapa lalu dia disalibkan. Yesus sendiri yang menyerahkan dirinya! Yesus
dengan sukarela pergi ke kayu salib. Atas keputusan dan niatnya sendiri
dia mengorbankan nyawanya bagi kita. Tak ada tekanan yang memaksa dia
melakukan hal ini. Hal ini harus kita tegaskan, karena ada beberapa dari
antara kita yang memiliki penilaian bahwa Yesus adalah korban tidak
berdaya yang diserahkan untuk mati di kayu salib,
dan Yesus tidak berkuasa untuk menolak hal itu.
Kita tidak boleh punya kesan seperti ini. Yesus memilih untuk
dengan sukacita memberikan dirinya. Dia bukanlah korban,
dia sendiri yang menyerahkan dirinya.
·
Yesus mati untuk membebaskan kita dari cara hidup kita yang jahat
Pokok
yang berikutnya adalah, mengapa dia menyerahkan dirinya? Dia menyerahkan
dirinya untuk menebus kita. Kata 'menebus (redeem) adalah kata
yang dipakai dalam arti setting free (membebaskan) seorang budak,
menebus seorang budak agar merdeka. Kita tidak lagi memakai kata ini
secara harfiah di zaman modern. Akan tetapi, pada zaman dulu, kata ini
lazim digunakan. Setiap kali Anda ingin membeli seorang budak, Anda
membelinya dari orang lain. Kata ini secara harfiah berarti 'menebus'
seseorang. Yaitu membebaskan dia dengan cara membayar uang
pembebasannya. Dalam hal ini, harganya adalah darah Yesus.
Demikianlah kata rasul Petrus di 1 Petrus 1:18-19: Sebab kamu tahu,
bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi
dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan
perak atau emas (orang pada zaman dulu biasanya membeli budak dengan
emas dan perak), melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah
Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak
bercacat (di sini dia kembali pada istilah-istilah tentang korban
persembahan).
Ayat di
atas sama seperti kutipan selanjutnya (Titus 2:11-14) yang
mencerminkan bahasa Perjanjian Lama. Menebus kita dari
apa? Menebus kita dari segala kejahatan. Kata 'kejahatan' ini
dalam bahasa aslinya berarti 'pelanggaran (lawlessness).
Mengapa kata 'pelanggaran' ini dipakai?
Karena dosa, seperti yang dikatakan oleh rasul Yohanes
di 1 Yoh 3:4, pada dasarnya adalah pelanggaran;
suatu penolakan terhadap hukum Allah, yang berarti suatu penolakan
terhadap kedaulatan Allah. Sekarang Anda bisa melihat mengapa hal ini
menjadi tema utama dalam pemberitaan Tuhan sendiri - yaitu kerajaan
[kedaulatan] Allah. Saat kita belum mengenal Kristus, kita mengerjakan
kehendak kita sendiri, kita hidup semau kita. Kita tidak mau peduli
dengan isi hati orang lain, apa lagi isi hati Allah. Karena itu, kita
tidak peduli apakah Dia ada atau tidak, apa lagi dengan kedaulatan-Nya.
Ini adalah penolakan terhadap pemerintahan Allah di dalam hidup kita.
Kita
tidak peduli dengan Sepuluh Perintah Tuhan atau perintah-perintah
lainnya yang berkaitan dengan hal itu. Kita hanya mau melakukan apa yang
kita senangi. Begitulah cara hidup kita. Yesus menebus kita dari cara
hidup yang demikian. Penebusan ini tidak sekadar dalam segi hukumnya.
Penebusan bukan sekadar mencabut status bersalah
kita. Tidak, kita ditebus dari segenap cara hidup kita, cara hidup yang
digambarkan sebagai melanggar hukum itu.
Ketika
kita belum mengenal Kristus kita hidup dalam pelanggaran. Hukum Allah
tidak berarti bagi kita. Allah tidak berarti bagi kita. Kita tidak
peduli pada firman Allah, atau pada isi Alkitab, atau pada gereja, dan
oleh karena itu, kita juga tidak peduli pada orang lain. Kita menegakkan
aturan pribadi kita masing-masing. Seandainya kita bisa menghindari
hukum buatan manusia, kita juga akan menolak hukum buatan manusia. Kita
ingin menegakkan aturan pribadi kita sendiri. Akan tetapi Kristus
menebus kita dari segala kejahatan; baik dari kejahatan yang
berupa pelanggaran dalam bentuk cara hidup maupun hasil dari cara hidup
yang jahat itu
·
Yesus mati untuk menguduskan bagi dirinya umat kepunyaannya sendiri
Rasul
Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa Kristus
menyerahkan dirinya untuk menebus kita dari cara hidup lama untuk
menguduskan bagi dirinya umat
kepunyaannya. Perhatikan kata
menguduskan baginya. Kristus tidak menyelamatkan kita
semata-mata demi kepentingan kita saja, yakni agar kita diselamatkan dan
mendapatkan tempat di surga. Cara pemberitaan seperti ini sangatlah
berpusat kepada manusia. Allah melalui perantara Yesus
melakukan segala sesuatu demi manusia. Lalu apa yang
pernah dilakukan oleh manusia demi Allah? Yesus
mati untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk
menguduskan, apakah ini demi kita? Tidak, tetapi untuk suatu umat
bagi dirinya. Sekarang kita mulai melihat bahwa Yesus mati untuk tujuan
yang sangat khusus, dia mati demi menguduskan bagi dirinya
suatu umat. Indah sekali!
Perhatikan kata 'menguduskan'. Kata ini dalam
bahasa Yunaninya secara harfiah berarti membersihkan, membuat bersih.
Kata yang jamak dipakai dalam pengertian membersihkan sesuatu.
Menguduskan, membuat bersih - bersih dari segala yang menjijikkan, dari
segala noda, dari segala kotoran. Dan dia
melakukan ini karena dia menginginkan satu umat miliknya pribadi.
Sekarang kita mulai mengerti
lebih jauh lagi tentang kematian Yesus di dalam rencana Allah.
Ayat itu berlanjut dengan: menguduskan bagi dirinya
suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri. Oh,
sungguh indah, kita menjadi miliknya, kita menjadi miliknya pribadi.
·
Yesus mati agar jemaat menjadi terang di dunia ini
Pada hari
Jumat siang di bukit Kalvari, saat Yesus
menyerahkan nyawanya; dia bisa melihat bahwa
setelah benih itu mati, dari kematiannya akan muncul panen besar,
akan muncul umat yang baru (Yoh. 12:24).
Umat yang bagaimana? Umat yang telah dibebaskan dari dosa, umat yang
indah karena dihiasi kemurnian rohani,
kekudusan dan yang akan bersinar di dunia ini
demi kemuliaan Allah. Dari tengah lumpur, kotoran dan
kejijikan dosa akan bertumbuh bunga yang indah yang putih murni,
memancarkan bau harum, kecantikan dan kemuliaan! Oh, ini hal yang sangat
layak untuk dibayangkan saat dia sedang sekarat! Ibrani 12:2 berkata,
yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang
disediakan bagi Dia. Apakah sukacita yang disediakan bagi
Yesus? Bukan sukacita karena menderita. Melainkan apa
yang terhampar di balik kayu salib itu. Itulah sukacita yang disediakan
bagi dia. Mengapa orang-orang mau melayani Tuhan,
mengorbankan pekerjaan, karir dan masa depan mereka? Apakah mereka
senang menjadi orang miskin? Tentu saja tidak! Sukacita akan apa yang
hendak dicapai lewat pengorbanan dan penderitaan,
itulah yang memotivasi mereka untuk terus maju.
Demikianlah, saat Yesus menjelang ajal, dia bisa melihat apa yang
terhampar di balik penderitaan dan kesakitan itu, yaitu umat yang akan
ditebus, yang dibersihkan dari dosa, disucikan,
dibersihkan dan yang akan bersinar di dunia ini bagi kemuliaan Allah.
Oh, sungguh indah! Saya tidak tahu apakah Anda dapat menangkap gambaran
ini. Ini adalah hal yang layak ditebus dengan nyawa. Suatu masyarakat
yang baru, suatu umat baru yang telah dimerdekakan bagi Allah di tengah
dunia. Dunia yang merupakan ajang peperangan dan
penderitaan; dunia yang penuh dengan kebencian, kejahatan,
ketidakpedulian, pelanggaran dan di mana setiap orang melakukan
kehendaknya sendiri dengan menginjak sesamanya demi mengejar
kemuliaannya sendiri.
Dalam
dunia yang seperti ini akan muncul suatu komunitas
umat baru, yang akan saling peduli, saling mengasihi,
yang tidak saling menjatuhkan dalam mengejar
tujuannya, tetapi mereka akan merendahkan diri di hadapan orang lain
dan tidak takut dirugikan. Mentalitas semacam itu sangat
terbalik dengan prinsip hidup duniawi. Suatu masyarakat yang baru - di
mana tak seorang pun berusaha mengambil keuntungan dari orang lain, yang
niatnya bukan untuk mendapatkan, melainkan ingin memberi.
Masyarakat di mana setiap orang akan sangat peduli pada
sesama - suatu masyarakat yang baru, dan
hal ini sangat layak ditebus
dengan nyawa!
Hal ini juga merupakan
alasan mengapa banyak orang menjadi pemberontak atau
revolusioner, bukankah demikian? Mereka punya harapan untuk mewujudkan
suatu masyarakat yang baru, masyarakat yang lebih baik. Itu sebabnya
mengapa kaum komunis di China rela menyongsong maut. Mereka
memperjuangkan suatu masyarakat baru bahkan dengan nyawa
mereka, bukankah demikian? Mereka mempunyai visi.
Tentu saja, visi mereka salah. Mereka menekankan
pada perubahan ekonomi atau sosial, dan gagal
memahami bahwa persoalan umat manusia bukan di bidang ekonomi atau
sosial, melainkan di bidang spiritual.
Apakah
alasan bagi kematian Kristus menjadi semakin jelas?
Ungkapan umat kepunyaannya sendiri
bersumber dari Perjanjian Lama. Ungkapan ini
dipakai di dalam Perjanjian Lama dan sebenarnya mengacu kepada umat
Israel. Israel dibebaskan untuk menjadi suatu
umat kepunyaan Allah sendiri. Membebaskan umat-Nya sendiri bukanlah
suatu ide yang baru bagi Allah. Ini memang merupakan rencana kekal-Nya.
Dia menginginkan suatu umat kepunyaan-Nya sendiri, dan Dia memilih
Israel. Tetapi Israel gagal secara menyedihkan. Dan jika saya mengamati
gereja masa kini, saya tidak melihat bahwa gereja
lebih baik dari Israel.
Gereja
tampaknya bahkan tidak mengerti apa rencana Allah, apa yang menjadi
tujuan Allah dalam rencana keselamatanNya.
Itulah sebabnya saya terbeban
untuk menyampaikan mengapa Yesus mati. Kira ada di antara kita
yang dapat menangkap visi tentang mengapa Yesus mati dan
mengapa kita juga harus rela mati. Dan
karena kita sudah melihat visi ini, kita lalu bersedia
untuk hidup atau mati bagi tujuan ini: yakni membentuk suatu
masyarakat ilahi yang baru, yang disebut sebagai gereja!
Namun
jika kita cermati gereja masa kini, yang
terlihat adalah masyarakat yang sibuk bertengkar;
masyarakat yang berisi orang-orang berpikiran sempit yang saling
mengecam satu dengan yang lainnya, dan juga yang
saling menginjak. Sungguh menyedihkan hati
saat kita membandingkan visi indah yang ditebus oleh
nyawa Yesus, dengan kenyataan yang ada di depan mata kita. Kita harus
berjuang untuk mengubah situasi ini. Kita harus bekerja keras untuk
menghasilkan masyarakat baru melalui Roh Allah di dalam diri kita,
masyarakat yang telah ditebus oleh nyawa Yesus.
Istilah
'umat kepunyaan-Nya' [Titus 2:14]
hanya muncul satu kali di dalam Perjanjian Baru. Bagi Anda yang mengerti
bahasa Yunani, kata peri-ousios, adalah kata yang sangat jarang
dipakai. Hanya muncul satu kali di dalam Perjanian Baru, akan tetapi
cukup sering muncul di dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani. Salah
satu ayat yang menampilkan kata ini adalah Ulangan 7:6, yang juga
merupakan rujukan dari Perjanjian Lama untuk Titus 2:14 ini. Ulangan 7:6
berbunyi sangat mirip dengan kutipan yang kita bahas hari ini
termasuk adanya kata 'redeem (membebaskan,
menebus)'. Ini menunjukkan bahwa pemikiran yang
ada di dalam surat kepada Titus ini nyaris
bersumber langsung dari kitab Ulangan. Di sini terlihat bahwa kitab
Ulangan tidak berbeda jauh dengan pemikiran Paulus ketika dia
menggunakan kata peri-ousios. Ini
adalah hal yang sangat menarik.
Ulangan
7:6 - Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN (Yahweh), Allahmu;
engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas
muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya, (kata ini di dalam
Perjanjian Baru diterjemahkan dengan umat
kepunyaan-Nya sendiri). Perhatikan, mengapa Allah memilih umat ini?
Apakah karena orang Yahudi lebih baik daripada umat lain? Lebih cerdas?
Lebih ramah? Tidak sama sekali. Tak ada kelebihan umat Yahudi, tak ada
sama sekali. Ayat 7: Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa
manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu bukankah
kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? Allah berfirman kepada
bangsa Israel melalui Musa, "Kalian bukanlah bangsa perkasa yang membuat
Allah kagum, kalian bukan apa-apa. Kalian yang paling sedikit, paling
kecil dan yang paling tidak berarti. Tetapi justru karena kalian bukan
apa-apa di antara bangsa-bangsa di dunia, itulah sebabnya Aku memilih
kalian." Jika Anda mengira bahwa Allah memilih Anda dan saya karena kita
ini lebih baik daripada orang lain, maka kita telah keliru memahami
persoalannya. Kita ini bukan apa-apa di dunia. Allah memilih kita justru
karena kita sangat tidak berarti. Allah selalu senang memilih mereka
yang tidak berarti apa-apa, yang bukan siapa-siapa untuk menjalankan
rencana besar-Nya, supaya semua orang bisa melihat bahwa Allah yang
telah mengerjakan semua itu, bukannya manusia!
Ayat 8
berkata: tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang
sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN
telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau
dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir. Di Titus
2.14, Anda menemukan kata yang sama yaitu 'redeem
(menebus, membebaskan)'. Dia telah menebus kita untuk menjadikan kita
umat kepunyaan-Nya sendiri. Jadi kita adalah Israel yang baru. Gereja
mengambil alih tempat Israel ketika Israel gagal
menjalankan tugasnya.
Mengapa
Allah memilih Israel? Tak ada hal yang berarti di Israel. Lalu mengapa
Allah memilih Israel? Apakah Dia ingin menjadikan mereka milik yang
khusus sehingga mereka boleh berbangga atas hal itu? Tidak! Dia memilih
mereka untuk mengerjakan tugas khusus: menjadi terang dunia, menjadi
terang bagi bangsa-bangsa. Kita baca hal ini di Yesaya 42:6, "Aku
ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah
memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi
perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa."
Saat bangsa Israel berpikir, "Allah telah memilih aku karena Dia ingin
menyelamatkan aku. Hanya itu saja!" Maka mereka telah salah paham. Allah
telah memilih Israel untuk mengerjakan satu tugas di dunia ini: menjadi
terang bagi dunia, menjadi terang bagi bangsa asing, yaitu bangsa-bangsa
lain.
Mengapakah
Allah memilih kita menjadi kepunyaan-Nya sendiri? Surat
Titus melanjutkan dengan memberitahu kita, "suatu umat, kepunyaan-Nya
sendiri, yang rajin berbuat baik." Kata 'deeds (tindakan)'
dan 'works (perbuatan)' memiliki makna yang sama dalam bahasa
Yunani. Camkanlah hal ini baik-baik. Mengapa Tuhan
ingin kita rajin berbuat baik? Mengapa? Karena
jika bukan dengan cara berbuat baik, maka dengan
cara apa lagi kita bisa bersinar bagi Tuhan? Dengan cara
apa lagi kita bisa memuliakan Allah di bumi ini? Itu sebabnya Yesus
berkata di Khotbah di Bukit, di Matius 5:16, "Demikianlah
hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat
perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."
Mengapa
Yesus rela mati? Apakah karena dia ingin memiliki
umat kepunyaannya sendiri? Ya, namun bahkan ini bukanlah suatu jawaban
yang lengkap. Mengapa Yesus ingin memiliki satu umat yang khusus? Supaya
dia bisa memuaskan keinginannya sendiri? Bukan demikian.
Yesus menginginkan suatu
umat yang bersinar di dunia ini untuk mengungkapkan
kemuliaan Allah Bapa. Untuk apa? Supaya orang lain yang melihat terang
itu, bisa tertarik untuk datang kepada terang itu, agar
mereka juga bisa diselamatkan, dan bisa masuk ke
dalam hidup yang kekal.
Dapatkah
Anda melihat keseluruhan rencana keselamatan dari Allah? Apakah Anda
sedang menggenapi rencana tersebut? Dapatkah Anda berkata bahwa Anda
rajin berbuat baik? Apakah arti dari 'rajin berbuat baik' itu?
Artinya adalah orang yang gemar mengerjakan apa yang
baik. Hasrat untuk melakukan apa yang baik!
Setiap kali Anda mengerjakan perbuatan baik, apakah Anda melihat hal itu
sebagai beban yang berat? "Oh tidak, aku harus menjadi orang baik hari
ini. Sungguh pekerjaan yang berat! Mungkin hari
ini, aku harus menaruh beberapa dolar di kotak persembahan. Artinya, aku
tidak bisa beli lebih banyak coklat hari ini.
Sungguh berat jadi orang baik."
Di sini
dikatakan, rajin, gemar berbuat baik, sangat bersukacita
karena bisa berbuat baik! Itu
berarti ada suatu perubahan di dalam sikap hati Anda. Artinya Anda sudah
diubah; Anda memiliki pola pikir yang sama
sekali baru. Menjadi seorang Kristen berarti menjadi
ciptaan baru. Bukannya berusaha mendapatkan pemikiran baru. Bukan
bahwa sebelumnya, saya adalah seorang revolusioner dalam
pengertian komunis, sekarang saya adalah seorang yang revolusioner dalam
pengertian Kristen. Itu hanya sekadar mengganti obyek Anda saja. Tidak
lebih! Bukan demikian, diperlukan sesuatu yang
lebih mendalam ketimbang itu. Gemar berbuat baik berarti Allah
telah masuk ke dalam hidup Anda, Anda menjadi manusia
baru. Anda tidak sekadar berganti tujuan, tetapi segenap cara berpikir
Anda berubah. Sekiranya pola pikir Anda
tidak berubah, dan Anda tidak menjadi manusia
baru, maka tidaklah mungkin
bagi Anda untuk menggenapi
panggilan surgawi menjadi terang Allah yang bersinar bagi Dia di dunia
ini.
Apakah
gereja merupakan terang di dunia? Apakah kita, sebagai jemaat, adalah
terang dunia? Apakah kita sudah bersinar? Sudahkah? Adakah
sinar, sekecil apa pun itu, yang memancar dari gereja ini? Kita telah
gagal. Terang yang ada sangat tidak berarti. Saya tidak tahu apakah
orang yang sedang berjalan di dalam kegelapan bisa melihat terang itu,
supaya dia tidak tersandung dan jatuh ke dalam lubang! Jika
kita tidak bersinar sebagaimana seharusnya, tidakkah Anda melihat bahwa
kematian Kristus itu sia-sia? Untuk apa dia mati? Apakah untuk
menghasilkan jemaat seperti kita yang nyaris tidak memancarkan sinar di
tengah kegelapan ini? Untuk inikah Kristus mati?
Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org
0 komentar:
Posting Komentar