Home » , , , , » Apakah tujuan kekal Yesus mati bagi kita? Bagian 1

Apakah tujuan kekal Yesus mati bagi kita? Bagian 1

Ditulis Oleh Admin pada Selasa, 26 Maret 2013 | 23:36


Khotbah oleh Pendeta Eric Chang

Kita akan membahas tentang mengapa Kristus harus mati. Mengapa Yesus memberikan dirinya kepada kita? Anda mungkin akan segera menjawab, "Mudah saja. Saya tahu jawabannya. Yesus mati untuk menyelamatkan kita." Ini adalah jawaban yang sederhana untuk persoalan yang sangat penting ini. Benar, memang benar Yesus mati untuk menyelamatkan kita, tetapi itu hanya sebagian dari kebenaran. Anda mungkin berkata, "Kristus mati karena dia mengasihi kita!" Ini juga merupakan jawaban yang sering kita dengar. Apakah ini salah? Tidak, jawaban ini benar, tetapi juga masih belum kebenaran yang seluruhnya. 

Wujudkan tujuan dari kematian Yesus, bukan hanya menangisi kematiannya!
Jadi, mengapa Yesus mati? Apa rencana kekal Allah lewat kematian AnakNya Yesus Kristus? Apakah Allah mempunyai suatu tujuan? Jika kita berkata bahwa Yesus mati karena dia mengasihi kita, yang sedang kita gambarkan sebenarnya adalah niat atau motivasi hati. Akan tetapi jawaban itu tidak menjelaskan untuk apa Yesus mati. Jika saya bertanya, "Mengapa Yesus mati?" yang sedang ditanyakan bukanlah motivasinya atau hal yang mendorong dia untuk melakukan itu. Yang sedang saya tanyakan adalah apa rencana kekal Allah lewat kematian AnakNya? Apa rencana kekal itu memang ada? Jadi, pertanyaan tentang motivasi kematian Yesus berbeda dengan tujuannya. Motivasinya memang kasih. Tapi apakah tujuan dari kematiannya? 

Saat saya berbicara tentang salib, saya tidak akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana mereka menancapkan paku ke tangan dan kaki Yesus dan tentang rasa sakit dan penderitaan yang dialaminya. Anda bisa merenungkannya sendiri. Namun perlu diketahui bahwa penderitaan jasmani bukanlah pokok yang utama. Dan jika saya ingin berbicara tentang penderitaan rohani, saya juga tidak bisa menggambarkannya karena saya sendiri tidak memahaminya! Siapa di antara kita yang bisa memahami penderitaan rohani Kristus? Kita tidak berada dalam posisi mampu memahaminya karena kita ini sangat tidak peka terhadap dosa. Dosa tidak membuat kita merasa risih. Lalu, bagaimana kita bisa memahami orang yang merasa risih dengan dosa? Yang hatinya hancur melihat dosa? Kita tidak bisa memahaminya!  

Sebagai contoh, jika Anda bertumbuh dengan kebiasaan hidup bersih, Anda tidak akan dapat memahami perilaku anak-anak yang senang bermain di lumpur. Sangat menyenangkan buat dia saat melumuri wajahnya dengan lumpur. Tapi bagi Anda hal itu sangat jorok. Akan tetapi anak yang terbiasa bermain dengan lumpur tidak merasa bahwa itu jorok. Anda berbicara dalam bahasa yang tidak dipahaminya karena dia tidak merasa bahwa lumpur itu jijik. Bagi dia, "Ini sangat menyenangkan! Senang sekali bisa bermain dengan lumpur." Demikianlah, Anda mungkin berkata, "Asyik sekali berbuat dosa. Sangat menyenangkan." Lalu orang lain yang  peka dengan dosa akan meratapi dosa namun Anda berkata, "Aku tidak mengerti. Kenapa dia bereaksi begitu keras?" Itulah persoalannya, kita tidak peka dengan dosa. 

Jadi, saya tidak akan mencoba untuk memahami apa yang alami oleh Yesus di kayu salib, karena jika kita belum mencapai kepekaan rohani seperti dia, maka kita tidak akan mungkin bisa memahami hal ini. Sampai pada batas tertentu, kita masih bisa memahami arti kepedihan. Akan tetapi, tetap saja kita tidak bisa memahami penderitaan di kayu salib. Pokok yang utama bukanlah pada masalah penderitaan jasmani. Lagi pula, Yesus bukanlah satu-satunya orang yang pernah disalibkan oleh penguasa Romawi. Terdapat ribuan orang yang disalibkan oleh pihak Roma. Di dalam pemberontakan Spartakus, misalnya, di jalan yang menanjak ke arah kota Roma berjajar kayu salib. Penyaliban adalah hukuman yang dijatuhkan pada banyak orang pada zaman itu. Jadi, jika penderitaan jasmani yang dialami oleh Yesus membuat kita meneteskan air mata, lalu bagaimana dengan penderitaan orang lain yang juga disalibkan? Penderitaan jasmani bukanlah pokok yang utama.

Yang utama adalah penderitaan rohaninya, dan hal ini justru tidak kita pahami. Itu sebabnya Yesus ke taman Getsemani, ke tempat yang maha kudus dan tidak bisa kita ikuti, karena kita tidak memahaminya. Sekarang, orang tidak peka terhadap dosa. Bahkan orang Kristen juga tidak peka terhadap dosa. Sangatlah menyedihkan melihat betapa mereka mampu melukai hati orang lain, betapa orang Kristen bisa menjadi sangat tidak berperasaan, sangat tidak ramah, bejat, pesimis dan daftar dosa orang Kristen sangatlah panjang. Secara rohani, orang Kristen benar-benar sangat jauh dari Tuhan. Bagaimana bisa mereka mengerti apa yang ditanggung oleh Yesus? Bagaimana saya, yang secara rohani tidak peka ini, bisa memahaminya? Saya memang sedih melihat dosa, akan tetapi kesedihan itu masih terlalu jauh dari kesedihan yang diderita oleh Yesus. Jadi, bagaimana saya bisa kita memahami penderitaan rohani yang dialami oleh Yesus di atas kayu salib?

Karena saya tak mampu mendalami kepedihan atau penderitaannya, maka yang bisa saya lakukan hanyalah mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar, untuk apa Yesus melakukan itu semua? Apakah yang menjadi tujuannya? Apakah yang menjadi rencana kekal Allah dalam mengutus Yesus untuk mati? Apakah Allah punya rencana kekal itu? Dan jika memang demikian, apakah itu rencana kekal itu

Dan dengan kasih karunia dan kuasanya, jika kita bisa mendapatkan gambaran tentang tujuannya maka setidaknya kita bisa berusaha agar tujuan dari kematiannya itu dapat terwujud di dalam hidup kita. Demikianlah, kita beralih dari urusan pemahaman emosional akan kematian Yesus, menuju kepada definisi aktif yang nyata tentang tujuan dari tindakan itu. Dan saya yakin bahwa hal ini akan lebih menyenangkan hati Tuhan. Jadi tujuan kita sekarang adalah untuk mengetahui untuk apa Yesus mati bagi kita? Dan bagaimana saya bisa, dengan pertolongan Allah, mewujudkan tujuan itu di dalam hidup saya?

Apa yang ingin dicapai oleh Allah lewat kematian Yesus?
Saya akan bagikan empat kutipan Alkitab dari tulisan Rasul Paulus. Jika Anda bertanya kepada rasul Paulus, "Paulus, apakah tujuan Allah di dalam kematian Yesus bagi saya? Apakah rencana kekal yang ada di balik hal ini? Hal apakah yang ingin dia capai?" Biar Paulus langsung yang berbicara pada kita lewat keempat kutipan ini

1. Titus 2:14 - Yesus mati demi suatu visi 
· Yesus mati dengan sukarela bagi kita
Pertama-tama, kita melihat di Titus 2:14. Surat Titus adalah surat Paulus yang dia tujukan kepada rekan sekerja dan murid yang dia latih di dalam pekerjaan Tuhan. Agar tetap pada konteksnya, kita akan membaca dari ayat 11.
Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini  dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita (untuk apa?) untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.

Jangan hanya berhenti membaca di 'telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita' - kita tidak boleh berhenti di sini, karena berhenti di sini berarti tidak jujur pada keseluruhan jawaban. Yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.
Inilah jawaban Paulus. Perhatikanlah kata-kata yang telah menyerahkan diri-Nya. Jangan pernah berpikir bahwa nyawa Yesus direnggut oleh Bapa lalu dia disalibkan. Yesus sendiri yang menyerahkan dirinya! Yesus dengan sukarela pergi ke kayu salib. Atas keputusan dan niatnya sendiri dia mengorbankan nyawanya bagi kita. Tak ada tekanan yang memaksa dia melakukan hal ini. Hal ini harus kita tegaskan, karena ada beberapa dari antara kita yang memiliki penilaian bahwa Yesus adalah korban tidak berdaya yang diserahkan untuk mati di kayu salib, dan Yesus tidak berkuasa untuk menolak hal itu. Kita tidak boleh punya kesan seperti ini. Yesus memilih untuk dengan sukacita memberikan dirinya. Dia bukanlah korban, dia sendiri yang menyerahkan dirinya.

· Yesus mati untuk membebaskan kita dari cara hidup kita yang jahat
Pokok yang berikutnya adalah, mengapa dia menyerahkan dirinya? Dia menyerahkan dirinya untuk menebus kita. Kata 'menebus (redeem) adalah kata yang dipakai dalam arti setting free (membebaskan) seorang budak, menebus seorang budak agar merdeka. Kita tidak lagi memakai kata ini secara harfiah di zaman modern. Akan tetapi, pada zaman dulu, kata ini lazim digunakan. Setiap kali Anda ingin membeli seorang budak, Anda membelinya dari orang lain. Kata ini secara harfiah berarti 'menebus' seseorang. Yaitu membebaskan dia dengan cara membayar uang pembebasannya. Dalam hal ini, harganya adalah darah Yesus.

Demikianlah kata rasul Petrus di 1 Petrus 1:18-19: Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas (orang pada zaman dulu biasanya membeli budak dengan emas dan perak), melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat (di sini dia kembali pada istilah-istilah tentang korban persembahan).

Ayat di atas sama seperti kutipan selanjutnya (Titus 2:11-14) yang mencerminkan bahasa Perjanjian Lama. Menebus kita dari apa? Menebus kita dari segala kejahatan. Kata 'kejahatan' ini dalam bahasa aslinya berarti 'pelanggaran (lawlessness).  Mengapa kata 'pelanggaran' ini dipakai? Karena dosa, seperti yang dikatakan oleh rasul Yohanes di 1 Yoh 3:4, pada dasarnya adalah pelanggaran; suatu penolakan terhadap hukum Allah, yang berarti suatu penolakan terhadap kedaulatan Allah. Sekarang Anda bisa melihat mengapa hal ini menjadi tema utama dalam pemberitaan Tuhan sendiri - yaitu kerajaan [kedaulatan] Allah. Saat kita belum mengenal Kristus, kita mengerjakan kehendak kita sendiri, kita hidup semau kita. Kita tidak mau peduli dengan isi hati orang lain, apa lagi isi hati Allah. Karena itu, kita tidak peduli apakah Dia ada atau tidak, apa lagi dengan kedaulatan-Nya. Ini adalah penolakan terhadap pemerintahan Allah di dalam hidup kita. 

Kita tidak peduli dengan Sepuluh Perintah Tuhan atau perintah-perintah lainnya yang berkaitan dengan hal itu. Kita hanya mau melakukan apa yang kita senangi. Begitulah cara hidup kita. Yesus menebus kita dari cara hidup yang demikian. Penebusan ini tidak sekadar dalam segi hukumnya. Penebusan bukan sekadar mencabut status bersalah kita. Tidak, kita ditebus dari segenap cara hidup kita, cara hidup yang digambarkan sebagai melanggar hukum itu.
Ketika kita belum mengenal Kristus kita hidup dalam pelanggaran. Hukum Allah tidak berarti bagi kita. Allah tidak berarti bagi kita. Kita tidak peduli pada firman Allah, atau pada isi Alkitab, atau pada gereja, dan oleh karena itu, kita juga tidak peduli pada orang lain. Kita menegakkan aturan pribadi kita masing-masing. Seandainya kita bisa menghindari hukum buatan manusia, kita juga akan menolak hukum buatan manusia. Kita ingin menegakkan aturan pribadi kita sendiri. Akan tetapi Kristus menebus kita dari segala kejahatan; baik dari kejahatan yang berupa pelanggaran dalam bentuk cara hidup maupun hasil dari cara hidup yang jahat itu

· Yesus mati untuk menguduskan bagi dirinya umat kepunyaannya sendiri
Rasul Paulus melanjutkan dengan berkata bahwa Kristus menyerahkan dirinya untuk menebus kita dari cara hidup lama untuk menguduskan bagi dirinya umat kepunyaannya. Perhatikan kata menguduskan baginya. Kristus tidak menyelamatkan kita semata-mata demi kepentingan kita saja, yakni agar kita diselamatkan dan mendapatkan tempat di surga. Cara pemberitaan seperti ini sangatlah berpusat kepada manusia. Allah melalui perantara Yesus melakukan segala sesuatu demi manusia. Lalu apa yang pernah dilakukan oleh manusia demi Allah? Yesus mati untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan, apakah ini demi kita? Tidak, tetapi untuk suatu umat bagi dirinya. Sekarang kita mulai melihat bahwa Yesus mati untuk tujuan yang sangat khusus, dia mati demi menguduskan bagi dirinya suatu umat. Indah sekali!
Perhatikan kata 'menguduskan'. Kata ini dalam bahasa Yunaninya secara harfiah berarti membersihkan, membuat bersih. Kata yang jamak dipakai dalam pengertian membersihkan sesuatu. Menguduskan, membuat bersih - bersih dari segala yang menjijikkan, dari segala noda, dari segala kotoran. Dan dia melakukan ini karena dia menginginkan satu umat miliknya pribadi. Sekarang kita mulai mengerti lebih jauh lagi tentang kematian Yesus di dalam rencana Allah. Ayat itu berlanjut dengan: menguduskan bagi dirinya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri. Oh, sungguh indah, kita menjadi miliknya, kita menjadi miliknya pribadi. 

· Yesus mati agar jemaat menjadi terang di dunia ini
Pada hari Jumat siang di bukit Kalvari, saat Yesus menyerahkan nyawanya; dia bisa melihat bahwa setelah benih itu mati, dari kematiannya akan muncul panen besar, akan muncul umat yang baru (Yoh. 12:24). Umat yang bagaimana? Umat yang telah dibebaskan dari dosa, umat yang indah karena dihiasi kemurnian rohani, kekudusan dan yang akan bersinar di dunia ini demi kemuliaan Allah. Dari tengah lumpur, kotoran dan kejijikan dosa akan bertumbuh bunga yang indah yang putih murni, memancarkan bau harum, kecantikan dan kemuliaan! Oh, ini hal yang sangat layak untuk dibayangkan saat dia sedang sekarat! Ibrani 12:2 berkata, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia. Apakah sukacita yang disediakan bagi Yesus? Bukan sukacita karena menderita. Melainkan apa yang terhampar di balik kayu salib itu. Itulah sukacita yang disediakan bagi dia. Mengapa orang-orang mau melayani Tuhan, mengorbankan pekerjaan, karir dan masa depan mereka? Apakah mereka senang menjadi orang miskin? Tentu saja tidak! Sukacita akan apa yang hendak dicapai lewat pengorbanan dan penderitaan, itulah yang memotivasi mereka untuk terus maju.

Demikianlah, saat Yesus menjelang ajal, dia bisa melihat apa yang terhampar di balik penderitaan dan kesakitan itu, yaitu umat yang akan ditebus, yang dibersihkan dari dosa, disucikan, dibersihkan dan yang akan bersinar di dunia ini bagi kemuliaan Allah. Oh, sungguh indah! Saya tidak tahu apakah Anda dapat menangkap gambaran ini. Ini adalah hal yang layak ditebus dengan nyawa. Suatu masyarakat yang baru, suatu umat baru yang telah dimerdekakan bagi Allah di tengah dunia. Dunia yang merupakan ajang peperangan dan penderitaan; dunia yang penuh dengan kebencian, kejahatan, ketidakpedulian, pelanggaran dan di mana setiap orang melakukan kehendaknya sendiri dengan menginjak sesamanya demi mengejar kemuliaannya sendiri.

Dalam dunia yang seperti ini akan muncul suatu komunitas umat baru, yang akan saling peduli, saling mengasihi, yang tidak saling menjatuhkan dalam mengejar tujuannya, tetapi mereka akan merendahkan diri di hadapan orang lain dan tidak takut dirugikan. Mentalitas semacam itu sangat terbalik dengan prinsip hidup duniawi. Suatu masyarakat yang baru - di mana tak seorang pun berusaha mengambil keuntungan dari orang lain, yang niatnya bukan untuk mendapatkan, melainkan ingin memberi. Masyarakat di mana setiap orang akan sangat peduli pada sesama - suatu masyarakat yang baru, dan hal ini sangat layak ditebus dengan nyawa

Hal ini juga merupakan alasan mengapa banyak orang menjadi pemberontak atau revolusioner, bukankah demikian? Mereka punya harapan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang baru, masyarakat yang lebih baik. Itu sebabnya mengapa kaum komunis di China rela menyongsong maut. Mereka memperjuangkan suatu masyarakat baru bahkan dengan nyawa mereka, bukankah demikian? Mereka mempunyai visi. Tentu saja, visi mereka salah. Mereka menekankan pada perubahan ekonomi atau sosial, dan gagal memahami bahwa persoalan umat manusia bukan di bidang ekonomi atau sosial, melainkan di bidang spiritual.

Apakah alasan bagi kematian Kristus menjadi semakin jelas? Ungkapan umat kepunyaannya sendiri bersumber dari Perjanjian Lama. Ungkapan ini dipakai di dalam Perjanjian Lama dan sebenarnya mengacu kepada umat Israel. Israel dibebaskan untuk menjadi suatu umat kepunyaan Allah sendiri. Membebaskan umat-Nya sendiri bukanlah suatu ide yang baru bagi Allah. Ini memang merupakan rencana kekal-Nya. Dia menginginkan suatu umat kepunyaan-Nya sendiri, dan Dia memilih Israel. Tetapi Israel gagal secara menyedihkan. Dan jika saya mengamati gereja masa kini, saya tidak melihat bahwa gereja lebih baik dari Israel. 

Gereja tampaknya bahkan tidak mengerti apa rencana Allah, apa yang menjadi tujuan Allah dalam rencana keselamatanNya. Itulah sebabnya saya terbeban untuk menyampaikan mengapa Yesus mati. Kira ada di antara kita yang dapat menangkap visi tentang mengapa Yesus mati dan mengapa kita juga harus rela mati. Dan karena kita sudah melihat visi ini, kita lalu bersedia untuk hidup atau mati bagi tujuan ini: yakni membentuk suatu masyarakat ilahi yang baru, yang disebut sebagai gereja!
Namun jika kita cermati gereja masa kini, yang terlihat adalah masyarakat yang sibuk bertengkar; masyarakat yang berisi orang-orang berpikiran sempit yang saling mengecam satu dengan yang lainnya, dan juga yang saling menginjak. Sungguh menyedihkan hati saat kita membandingkan visi indah yang ditebus oleh nyawa Yesus, dengan kenyataan yang ada di depan mata kita. Kita harus berjuang untuk mengubah situasi ini. Kita harus bekerja keras untuk menghasilkan masyarakat baru melalui Roh Allah di dalam diri kita, masyarakat yang telah ditebus oleh nyawa Yesus.

Istilah 'umat kepunyaan-Nya' [Titus 2:14] hanya muncul satu kali di dalam Perjanjian Baru. Bagi Anda yang mengerti bahasa Yunani, kata peri-ousios, adalah kata yang sangat jarang dipakai. Hanya muncul satu kali di dalam Perjanian Baru, akan tetapi cukup sering muncul di dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani. Salah satu ayat yang menampilkan kata ini adalah Ulangan 7:6, yang juga merupakan rujukan dari Perjanjian Lama untuk Titus 2:14 ini. Ulangan 7:6 berbunyi sangat mirip dengan kutipan yang kita bahas hari ini termasuk adanya kata 'redeem (membebaskan, menebus)'. Ini menunjukkan bahwa pemikiran yang ada di dalam surat kepada Titus ini nyaris bersumber langsung dari kitab Ulangan. Di sini terlihat bahwa kitab Ulangan tidak berbeda jauh dengan pemikiran Paulus ketika dia menggunakan kata peri-ousios. Ini adalah hal yang sangat menarik.

Ulangan 7:6 - Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN  (Yahweh), Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya, (kata ini di dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dengan umat kepunyaan-Nya sendiri). Perhatikan, mengapa Allah memilih umat ini? Apakah karena orang Yahudi lebih baik daripada umat lain? Lebih cerdas? Lebih ramah? Tidak sama sekali. Tak ada kelebihan umat Yahudi, tak ada sama sekali. Ayat 7: Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? Allah berfirman kepada bangsa Israel melalui Musa, "Kalian bukanlah bangsa perkasa yang membuat Allah kagum, kalian bukan apa-apa. Kalian yang paling sedikit, paling kecil dan yang paling tidak berarti. Tetapi justru karena kalian bukan apa-apa di antara bangsa-bangsa di dunia, itulah sebabnya Aku memilih kalian." Jika Anda mengira bahwa Allah memilih Anda dan saya karena kita ini lebih baik daripada orang lain, maka kita telah keliru memahami persoalannya. Kita ini bukan apa-apa di dunia. Allah memilih kita justru karena kita sangat tidak berarti. Allah selalu senang memilih mereka yang tidak berarti apa-apa, yang bukan siapa-siapa untuk menjalankan rencana besar-Nya, supaya semua orang bisa melihat bahwa Allah yang telah mengerjakan semua itu, bukannya manusia!

Ayat 8 berkata: tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir. Di Titus 2.14, Anda menemukan kata yang sama yaitu 'redeem (menebus, membebaskan)'. Dia telah menebus kita untuk menjadikan kita umat kepunyaan-Nya sendiri. Jadi kita adalah Israel yang baru. Gereja mengambil alih tempat Israel ketika Israel gagal menjalankan tugasnya.

Mengapa Allah memilih Israel? Tak ada hal yang berarti di Israel. Lalu mengapa Allah memilih Israel? Apakah Dia ingin menjadikan mereka milik yang khusus sehingga mereka boleh berbangga atas hal itu? Tidak! Dia memilih mereka untuk mengerjakan tugas khusus: menjadi terang dunia, menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Kita baca hal ini di Yesaya 42:6, "Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa." Saat bangsa Israel berpikir, "Allah telah memilih aku karena Dia ingin menyelamatkan aku. Hanya itu saja!" Maka mereka telah salah paham. Allah telah memilih Israel untuk mengerjakan satu tugas di dunia ini: menjadi terang bagi dunia, menjadi terang bagi bangsa asing, yaitu bangsa-bangsa lain. 

Mengapakah Allah memilih kita menjadi kepunyaan-Nya sendiri? Surat Titus melanjutkan dengan memberitahu kita, "suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik." Kata 'deeds (tindakan)' dan 'works (perbuatan)' memiliki makna yang sama dalam bahasa Yunani. Camkanlah hal ini baik-baik. Mengapa Tuhan ingin kita rajin berbuat baik? Mengapa? Karena jika bukan dengan cara berbuat baik, maka dengan cara apa lagi kita bisa bersinar bagi Tuhan? Dengan cara apa lagi kita bisa memuliakan Allah di bumi ini? Itu sebabnya Yesus berkata di Khotbah di Bukit, di Matius 5:16, "Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."

Mengapa Yesus rela mati? Apakah karena dia ingin memiliki umat kepunyaannya sendiri? Ya, namun bahkan ini bukanlah suatu jawaban yang lengkap. Mengapa Yesus ingin memiliki satu umat yang khusus? Supaya dia bisa memuaskan keinginannya sendiri? Bukan demikian. Yesus menginginkan suatu umat yang bersinar di dunia ini untuk mengungkapkan kemuliaan Allah Bapa. Untuk apa? Supaya orang lain yang melihat terang itu, bisa tertarik untuk datang kepada terang itu, agar mereka juga bisa diselamatkan, dan bisa masuk ke dalam hidup yang kekal.

Dapatkah Anda melihat keseluruhan rencana keselamatan dari Allah? Apakah Anda sedang menggenapi rencana tersebut? Dapatkah Anda berkata bahwa Anda rajin berbuat baik? Apakah arti dari 'rajin berbuat baik' itu? Artinya adalah orang yang gemar mengerjakan apa yang baik. Hasrat untuk melakukan apa yang baik! Setiap kali Anda mengerjakan perbuatan baik, apakah Anda melihat hal itu sebagai beban yang berat? "Oh tidak, aku harus menjadi orang baik hari ini. Sungguh pekerjaan yang berat! Mungkin hari ini, aku harus menaruh beberapa dolar di kotak persembahan. Artinya, aku tidak bisa beli lebih banyak coklat hari ini. Sungguh berat jadi orang baik." 

Di sini dikatakan, rajin, gemar berbuat baik, sangat bersukacita karena bisa berbuat baik! Itu berarti ada suatu perubahan di dalam sikap hati Anda. Artinya Anda sudah diubah; Anda memiliki pola pikir yang sama sekali baru. Menjadi seorang Kristen berarti menjadi ciptaan baru. Bukannya berusaha mendapatkan pemikiran baru. Bukan bahwa sebelumnya, saya adalah seorang revolusioner dalam pengertian komunis, sekarang saya adalah seorang yang revolusioner dalam pengertian Kristen. Itu hanya sekadar mengganti obyek Anda saja. Tidak lebih! Bukan demikian, diperlukan sesuatu yang lebih mendalam ketimbang itu. Gemar berbuat baik berarti Allah telah masuk ke dalam hidup Anda, Anda menjadi manusia baru. Anda tidak sekadar berganti tujuan, tetapi segenap cara berpikir Anda berubah. Sekiranya pola pikir Anda tidak berubah, dan Anda tidak menjadi manusia baru, maka tidaklah mungkin bagi Anda untuk menggenapi panggilan surgawi menjadi terang Allah yang bersinar bagi Dia di dunia ini.

Apakah gereja merupakan terang di dunia? Apakah kita, sebagai jemaat, adalah terang dunia? Apakah kita sudah bersinar? Sudahkah? Adakah sinar, sekecil apa pun itu, yang memancar dari gereja ini? Kita telah gagal. Terang yang ada sangat tidak berarti. Saya tidak tahu apakah orang yang sedang berjalan di dalam kegelapan bisa melihat terang itu, supaya dia tidak tersandung dan jatuh ke dalam lubang! Jika kita tidak bersinar sebagaimana seharusnya, tidakkah Anda melihat bahwa kematian Kristus itu sia-sia? Untuk apa dia mati? Apakah untuk menghasilkan jemaat seperti kita yang nyaris tidak memancarkan sinar di tengah kegelapan ini? Untuk inikah Kristus mati?  

.....................Bersambung........................
Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Kidung Online | Debrian Ruhut Blog | IL Cantante Choir
Copyright © 2013. Catatan Dari Meja Pendeta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger