Baru-baru ini di New York Times, diberitakan tentang
seorang ibu yang berusia 73 tahun yang ingin pindah untuk tinggal
bersama anaknya karena tertarik dengan properti yang baru dibelinya. Si
anak bersama pacarnya sangat keberatan karena ingin menikmati kehidupan
mereka berdua sendirian. Tetapi setelah rapat keluarga si anak akhirnya
menyetujui ibunya untuk pindah ke rumahnya tetapi dengan satu syarat.
Sang ibu hanya diizinkan untuk tinggal bersama mereka ketika usianya
mencapai 80 tahun, berarti ibunya harus menunggu 7 tahun lagi sebelum ia
diperbolehkan untuk pindah ke kediamannya. Sementara itu, jika sang ibu
yang sekarang tinggal sekitar 23 menit dari rumahnya, ingin
mengunjunginya, sang ibu harus terlebih dahulu menelpon untuk meminta
izin. Wah, saya tidak dapat bayangkan apa yang akan terjadi jikalau saya
memberikan syarat-syarat ini kepada orang tua saya! Umur sudah 73 tahun
tapi masih harus menunggu hingga 80 tahun! Dan harus menelpon dulu
sebelum mampir. Saya kira sangat sulit bagi masyarakat timur menerima
hal demikan tetapi sang ibu ini, kelihatannya menyambut baik syarat
anaknya dan sudah agak senang karena anaknya mau menerimanya untuk
tinggal bersama, sekalipun ia masih harus menunggu 7 tahun lagi.
Peristiwa di atas menunjukkan satu kontras yang
sangat mencolok di antara budaya orang timur (Asia?) dengan budaya orang
Barat. Jika dibuat satu survei tentang apakah perlakuan demikian dapat
diterima, saya yakin hasilnya sangat berbeda tergantung di mana survei
tersebut dijalankan. Rata-rata orang Asia akan menemukan hal demikian
tidak dapat diterima dan persentase orang yang dapat menerima hal
tersebut pasti lebih tinggi di kalangan masyarakat yang berbudaya
"barat".
Sebagai seorang percaya, ada kalanya kita sangat
dipengaruhi oleh latar belakang budaya dalam menilai suatu hal. Kalau
tidak berhati-hati kita bisa saja "menghakimi" sesama orang percaya
bukan berdasarkan standar dari Tuhan tetapi menurut tolok ukur budaya.
Dalam menaati Alkitab sekalipun, kita harus dapat memilah apa yang
merupakan prinsip (nomos) dari Tuhan dan apa yang merupakan budaya orang
Yahudi. Ketidakmampuan untuk memilah di antara keduanya bisa saja
membuat kita menaati apa yang sebetulnya hanya merupakan hal yang
bersifat eksternal. Karena ini, apakah kita lebih mengagumi budaya
barat, timur atau timur tengah, sebagai orang percaya, kita haruslah
memastikan bahwa semua dasar pernilaian dan juga cara kita menjalani
kehidupan kita didasarkan pada kitab pedoman hidup yang diberikan Tuhan
bukan pada pengaruh budaya.
Dalam hal hidup bersama umpamanya. Alkitab
menggambarkan kepada kita satu masyarakat yang hidup dalam satu hubungan
sosial dengan tingkat keakraban yang sangat tinggi. Kita tahu bahwa
masyarakat Kristen yang pertama secara khususnya bermula setelah Roh
Kudus dicurahkan di hari Pentakosta seperti yang digambarkan di Kitab
Para Rasul pasal 2. Di ayat 46, masyarakat Kristen yang pertama ini
digambarkan sebagai orang yang dengan tekun dan sehati berkumpul
tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Secara bergilir mereka juga makan
bersama di rumah masing-masing, dengan penuh gembira dan dengan tulus
hati. Dari sini jelaslah bahwa rencana Tuhan bagi masyarakat Kristen
adalah satu kehidupan dengan tingkat interaksi yang sangat tinggi dan
bukan masyarakat yang individulistik. Dan memang tidak dapat dipungkiri
bahwa masyarakat modern yang telah dipengaruhi budaya barat lebih
condong ke pola kehidupan yang individualistik. Satu contoh yang kecil
adalah setahu saya tidak ada frase dalam bahasa Inggris yang dapat
menerjemahkan arti dari kata "gotong royong" dengan tepat. Apakah
mungkin ini adalah karena konsep "gotong royong" ini memang satu hal
yang asing bagi masyarakat barat?
Tetapi apakah ini berarti sebagai masyarakat yang
berbudaya timur, kita dapat memberi selamat kepada diri sendiri karena
merasa kita kurang individualistik dibandingkan dengan masyarakat yang
berbudaya barat, dan karena itu kita "lebih baik"? Pada kenyataannya
kita masih jauh dari "budaya" Alktabiah atau menurut standar Alkitab.
Di pasal 2 Kitab Para Rasul yang dikutip tadi, di
ayat-ayat 44 hingga 46, melukiskan bagi kita bukan saja satu masyarakat
sosial yang tidak individualistik tetapi dikatakan bahwa semua orang
yang telah percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah
kepunyaan bersama. Wah, ini benar-benar mencengangkan! Semua kepunyaan
mereka adalah kepunyaan bersama!! Itu berarti tidak ada tembok yang
memisahkan yang berpunya dan yang tidak berpunya. Barangmu juga adalah
barangku. Tidak ada yang akan kekurangan, semuanya saling membagi.
Apakah hal ini dapat dilakukan oleh manusia yang
pada dasarnya lebih mengutamakan diri sendiri? Kalau semua menjadi milik
bersama berarti barang kita pasti akan cepat habis dan malah tidak akan
pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Makanya di ayat 45
kita diberitahu bahwa selalu ada saja di antara mereka yang menjual
harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan
keperluan masing-masing.
Wah, cara Tuhan ingin kita bermasyarakat ini terlalu
tidak manusiawi. Kita harus berani jujur - ayat 44 dan 45 itu bukan saja
sulit tetapi sebetulnya mustahil untuk dilakukan! Dan ternyata
Tuhan juga sependapat. Ia jauh-jauh hari sudah memberitahu kita di
Matius 19 - memang bagi manusia hal ini tidak mungkin(berarti mustahil),
tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin (ayat 26). Segala sesuatu
adalah mungkin, berarti tidak ada hal yang mustahil. Jika demikian,
dengan berkata bahwa hal ini tidak mungkin, bukankah secara tidak
langsung kita sedang berkata Tuhan sudah berbohong kepada kita?
Namun yang nyata adalah orang-orang percaya di Kisah
Para Rasul pasal 2 itu sudah membuktikan bahwa adalah mungkin untuk
hidup dalam kemustahilan. Bagaimana yang mustahil dapat menjadi mungkin
dalam hidup mereka? Fokus utama Kisah Para Rasul pasal 2 adalah Roh
Kudus. Mereka mampu melakukan hal yang mustahil itu bukan karena mereka
hebat tetapi karena Allah. Inilah penggenapan Matius 19 ayat 26, bagi
manusia hal ini mustahil tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin. Apa
yang gagal dilakukan oleh orang kaya muda itu (yaitu menjual segala
miliknya), berhasil dilakukan oleh jemaat gereja mula-mula.
Semoga ini menjadi satu inspirasi bagi kita bahwa
kehidupan yang dijalani lewat kuasa Roh Kudus senantiasa akan dapat
mengerjakan hal-hal yang bagi manusia tidak mungkin. Dan tidak kira
apakah latar belakang kita, yang pasti kita adalah warga kerajaan
surgawi, dan hanyalah "hukum" Raja dari Kerajaan surgawi yang berlaku
bagi kita. Apakah hukum Raja itu atau yang disebut sebagai the royal
law oleh rasul Yakobus? Rasul Yakobus menulis di kitab Yakobus pasal
2, ayat 8 bahwa hukum raja (yang diterjemahkan ITB sebagai hukum
utama) adalah, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".
Jadi apakah kita berbudaya barat atau timur, di mata Tuhan tidak ada
yang lebih unggul dari budaya kasih.
Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org
0 komentar:
Posting Komentar