Jangan Menilai Buku dari Sampulnya

Selasa, 16 September 2014

Redaktur
Tetapi jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa - Yakobus 2.9

Di suatu hari yang dingin di bulan Mei, saya sedang makan siang bersama dua teman di sebuah restoran kecil. Posisi kursi saya menghadap sebuah jendela besar. Sambil menikmati obrolan ringan saya melihat di seberang jalan ada seorang yang membawa sebuah papan dengan kata-kata "Aku akan bekerja untuk makanan". Pria gelandangan itu juga memanggul sebuah tas yang besar kemungkinan mengandung semua harta yang dimilikinya di dunia.

Kedua teman saya juga berhenti menyantap hidangan yang tadinya terasa enak dan  bergabung dengan saya untuk mengamati sosok yang membuat kami merasa sedih dan sulit untuk percaya. Walaupun setelah itu kami melanjutkan makan siang kami tetapi gambaran tentang pria itu terus berputar di dalam pikiran saya. Selesai makan kami meninggalkan tempat itu dan melanjutkan dengan kegiatan masing-masing.

Ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan di kota. Sepanjang siang itu saat saya berkeliling kota, dengan setengah hati saya melihat ke sepanjang jalanan mencari-cari pria asing itu. Tetapi saya juga khawatir jika saya bertemu dengan dia lagi, saya harus berbuat sesuatu.

Setelah selesai berbelanja beberapa barang di toko saya kembali ke mobil untuk pulang ke kantor. Tetapi jauh di lubuk hati saya, Roh Tuhan terus berbicara, "Jangan pulang dulu, setidaknya buatlah satu lagi putaran di lapangan kota." Jadi dengan hati yang sedikit berat saya mengarahkan mobil ke arah pusat kota sekali lagi. 

Kali ini saya melihatnya. Ia sedang berdiri di tangga gereja, sedang membongkar isi tasnya. Saya berhenti dan memandang ke arahnya. Perasaan saya berkecamuk, ada dorongan untuk berbicara dengannya, namun di sisi lain, saya juga mau meneruskan perjalanan. Tempat parkir yang kosong di sudut jalan seolah-olah adalah semacam tanda dari Tuhan: undangan untuk memarkir kenderaan saya. Lalu saya memarkir dan mendekati pengunjung baru ke kota kecil ini.

"Sedang mencari pendeta?" saya bertanya.
"Tidak juga," jawabnya, "hanya istirahat."
"Sudahkah Anda makan hari ini?"
"Oh, Saya makan sesuatu tadi pagi."
"Apakah Anda bersedia makan siang bersama saya?"
"Apakah Anda punya pekerjaan yang dapat saya lakukan?"
"Tidak ada pekerjaan. Saya tinggal di kota lain, tapi setiap hari ke sini untuk bekerja, tapi saya mau mengajak Anda untuk makan siang bersama."
"Baiklah, " ia menjawab dengan sebuah senyuman.
Waktu ia sibuk mengemas barang-barangnya. Saya berbasa-basi, "Mau ke mana?"
"St Louis."
"Dari mana?"
"Oh, dari banyak tempat; tetapi kebanyakannya Florida."
"Sudah berapa lama Anda berjalan?"
"Empat belas tahun," jawabnya.

Kami kembali ke restoran tempat saya makan tadi. Waktu ia menanggalkan jaketnya, terlihat baju kaus warna merah dengan tulisan, "Yesus adalah Kisah yang Tidak Pernah ada akhirnya."
Berbicara dengannya saya dikagetkan dengan kefasihan dan kejelasan caranya berkomunikasi. Walaupun umurnya hanya 38 tahun tapi raut wajahnya terlihat lebih tua dari itu. 

Daniel mula menceritakan kisahnya. Hidup lalunya agak kacau, ia telah membuat banyak pilihan yang salah dan telah membayar harga untuk itu. Empat belas tahun yang lalu dalam perjalanan melintasi Amerika ia berhenti di pantai di Daytona. Ia menawarkan untuk membantu sekelompok orang yang sedang memasang tenda besar dan peralatan. Pikirnya pasti akan di adakan konser musik tetapi ternyata malam itu ada kebaktian pemulihan. Di dalam kebaktian itu ia melihat hidupnya dengan jelas. Lalu ia memberikan diri kepada Tuhan. "Tidak ada yang sama setelah itu," katanya, "Saya merasa Tuhan sedang memberitahu saya untuk terus berjalan, dan itulah yang saya lakukan sepanjang 14 tahun ini."

"Pernah memikirkan untuk berhenti?" saya bertanya.
"Oh, ya kadang kadang, saat saya kewalahan. Tapi Tuhan telah memberikan saya panggilan ini. Saya menyebarkan Alkitab. Itulah yang ada di dalam tas saya. Saya bekerja untuk membeli makanan dan Alkitab, dan saya memberinya sesuai dengan pimpinan Roh." 
Saya duduk di situ tersentak. Teman gelandangan saya itu bukan gelandangan. Ia sedang menjalankan suatu misi dan sengaja memilih untuk hidup seperti itu.
Saya akhirnya bertanya, "Bagaimana rasanya?"
"Apa?"
"Berjalan masuk ke kota memanggul semua barang-barang di dalam tas dan mempamerkan tanda itu?"

Oh, pada awalnya agak memalukan. Orang akan melotot dan berkomentar. Pernah juga ada yang melemparkan sisa roti ke arah saya dan membuat saya merasa tidak diterima. Tetapi di akhir semuanya ini, saya merasa begitu kecil karena menyadari bahwa Tuhan sedang memakai saya untuk menyentuh kehidupan dan mengubah konsep-konsep orang tentang gelandangan seperti saya."
Ini termasuk saya. Konsep saya sedang diubahkan. Selesai makan Daniel mulai mengumpulkan barangnya sekali lagi.

Di luar pintu, ia berhenti sejenak dan berbalik menghadap saya, "Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum, ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan".

Saya merasa seperti sedang berdiri di atas tanah kudus. "Apakah Anda memerlukan satu lagi Alkitab?" saya bertanya. Ia memberitahu saya terjemahan yang paling digemarinya. Terjemahan itu tidak terlalu berat dan mudah dibawa. "Saya tidak pasti apakah kami memiliki itu, tapi marilah mampir ke gereja dan kita lihat." Saya berhasil menemukan sebuah Alkitab yang cocok untuk teman baru saya dan ia kelihatannya sangat bersyukur.

Dua jam setelah itu saya menghantarnya ke tempat kita bertemu tadi. Hujan gerimis mulai turun.
"Kapan kali terakhir seseorang memeluk Anda?" saya bertanya.

"Sudah sangat lama," jawabnya. Lalu di sudut jalan yang sibuk dan di bawah hujan gerimis kami berpelukan dan jauh di dalam hati, saya merasa saya telah diubahkan.

Daniel melanjutkan perjalanannya. "Jika Anda melihat sesuatu yang mengingatkan Anda kepada saya, apakah Anda akan mendoakan saya?" teriaknya.

"Pasti," saya menjawab, "Tuhan berkati!"

Itulah kali terakhir saya melihatnya. Malam itu, saat saya mau pulang, saya melihat sepasang sarung tangan tua di rem tangan mobil saya. Saya memegangnya dan memikirkan tentang Daniel yang kedinginan tanpa sarung tangannya. Lalu saya teringat, "Jika Anda melihat sesuatu yang mengingatkan Anda tentang saya, apakah Anda akan mendoakan saya?"

Hari ini sarung tangan itu ada di atas meja kantor saya. Sarung tangan itu membantu saya untuk melihat dunia dan orang di dalamnya dengan cara yang baru dan berdoa untuk Daniel.

(Artikel di atas diterjemah dan dirangkum dari tulisan Pendeta Richard Ryan, pendeta pembantu di Old Capitol United Methodist Church di Corydon, Indiana. Pendeta Ryan menulisnya satu hari setelah pertemuannya dengan Daniel di tahun 1993. Artikel itu pertama kali muncul di majalah The Corydon Democrat 1995 dan di banyak terbitan yang lain, termasuk A Third Serving of Chicken Soup for the Soul. Sejak itu banyak orang telah mengunjungi Pendeta Ryan untuk melihat sarung tangan yang kelihatan yang sangat biasa itu.)

 Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org

Budaya Barat, Timur atau 'Budaya' Tuhan?

Kamis, 03 April 2014

Baru-baru ini di New York Times, diberitakan tentang seorang ibu yang berusia 73 tahun yang ingin pindah untuk tinggal bersama anaknya karena tertarik dengan properti yang baru dibelinya. Si anak bersama pacarnya sangat keberatan karena ingin menikmati kehidupan mereka berdua sendirian. Tetapi setelah rapat keluarga si anak akhirnya menyetujui ibunya untuk pindah ke rumahnya tetapi dengan satu syarat. Sang ibu hanya diizinkan untuk tinggal bersama mereka ketika usianya mencapai 80 tahun, berarti ibunya harus menunggu 7 tahun lagi sebelum ia diperbolehkan untuk pindah ke kediamannya. Sementara itu, jika sang ibu yang sekarang tinggal sekitar 23 menit dari rumahnya, ingin mengunjunginya, sang ibu harus terlebih dahulu menelpon untuk meminta izin. Wah, saya tidak dapat bayangkan apa yang akan terjadi jikalau saya memberikan syarat-syarat ini kepada orang tua saya! Umur sudah 73 tahun tapi masih harus menunggu hingga 80 tahun! Dan harus menelpon dulu sebelum mampir. Saya kira sangat sulit bagi masyarakat timur menerima hal demikan tetapi sang ibu ini, kelihatannya menyambut baik syarat anaknya dan sudah agak senang karena anaknya mau menerimanya untuk tinggal bersama, sekalipun ia masih harus menunggu 7 tahun lagi.

Peristiwa di atas menunjukkan satu kontras yang sangat mencolok di antara budaya orang timur (Asia?) dengan budaya orang Barat. Jika dibuat satu survei tentang apakah perlakuan demikian dapat diterima, saya yakin hasilnya sangat berbeda tergantung di mana survei tersebut dijalankan. Rata-rata orang Asia akan menemukan hal demikian tidak dapat diterima dan persentase orang yang dapat menerima hal tersebut pasti lebih tinggi di kalangan masyarakat yang berbudaya "barat". 

Sebagai seorang percaya, ada kalanya kita sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dalam menilai suatu hal. Kalau tidak berhati-hati kita bisa saja "menghakimi" sesama orang percaya bukan berdasarkan standar dari Tuhan tetapi menurut tolok ukur budaya. Dalam menaati Alkitab sekalipun, kita harus dapat memilah apa yang merupakan prinsip (nomos) dari Tuhan dan apa yang merupakan budaya orang Yahudi. Ketidakmampuan untuk memilah di antara keduanya bisa saja membuat kita menaati apa yang sebetulnya hanya merupakan hal yang bersifat eksternal. Karena ini, apakah kita lebih mengagumi budaya barat, timur atau timur tengah, sebagai orang percaya, kita haruslah memastikan bahwa semua dasar pernilaian dan juga cara kita menjalani kehidupan kita didasarkan pada kitab pedoman hidup yang diberikan Tuhan bukan pada pengaruh budaya.

Dalam hal hidup bersama umpamanya. Alkitab menggambarkan kepada kita satu masyarakat yang hidup dalam satu hubungan sosial dengan tingkat keakraban yang sangat tinggi. Kita tahu bahwa masyarakat Kristen yang pertama secara khususnya bermula setelah Roh Kudus dicurahkan di hari Pentakosta seperti yang digambarkan di  Kitab Para Rasul pasal 2. Di ayat 46, masyarakat Kristen yang pertama ini digambarkan sebagai orang yang dengan tekun dan sehati berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Secara bergilir mereka juga makan bersama di rumah masing-masing, dengan penuh gembira dan dengan tulus hati. Dari sini jelaslah bahwa rencana Tuhan bagi masyarakat Kristen adalah satu kehidupan dengan tingkat interaksi yang sangat tinggi dan bukan masyarakat yang individulistik. Dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat modern yang telah dipengaruhi budaya barat lebih condong ke pola kehidupan yang individualistik. Satu contoh yang kecil adalah setahu saya tidak ada frase dalam bahasa Inggris yang dapat menerjemahkan arti dari kata "gotong royong" dengan tepat. Apakah mungkin ini adalah karena konsep "gotong royong" ini memang satu hal yang asing bagi masyarakat barat?

Tetapi apakah ini berarti sebagai masyarakat yang berbudaya timur, kita dapat memberi selamat kepada diri sendiri karena merasa kita kurang individualistik dibandingkan dengan masyarakat yang berbudaya barat, dan karena itu kita "lebih baik"? Pada kenyataannya kita masih jauh dari "budaya" Alktabiah atau menurut standar Alkitab.

Di pasal 2 Kitab Para Rasul yang dikutip tadi, di ayat-ayat 44 hingga 46, melukiskan bagi kita bukan saja satu masyarakat sosial yang tidak individualistik tetapi dikatakan bahwa semua orang yang telah percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Wah, ini benar-benar mencengangkan! Semua kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama!! Itu berarti tidak ada tembok yang memisahkan yang berpunya dan yang tidak berpunya. Barangmu juga adalah barangku. Tidak ada yang akan kekurangan, semuanya saling membagi.

Apakah hal ini dapat dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya lebih mengutamakan diri sendiri? Kalau semua menjadi milik bersama berarti barang kita pasti akan cepat habis dan malah tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Makanya di ayat 45 kita diberitahu bahwa selalu ada saja di antara mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.

Wah, cara Tuhan ingin kita bermasyarakat ini terlalu tidak manusiawi. Kita harus berani jujur - ayat 44 dan 45 itu bukan saja sulit tetapi sebetulnya mustahil untuk dilakukan! Dan ternyata Tuhan juga sependapat. Ia jauh-jauh hari sudah memberitahu kita di Matius 19 - memang bagi manusia hal ini tidak mungkin(berarti mustahil), tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin (ayat 26). Segala sesuatu adalah mungkin, berarti tidak ada hal yang mustahil. Jika demikian, dengan berkata bahwa hal ini tidak mungkin, bukankah secara tidak langsung kita sedang berkata Tuhan sudah berbohong kepada kita?

Namun yang nyata adalah orang-orang percaya di Kisah Para Rasul pasal 2 itu sudah membuktikan bahwa adalah mungkin untuk hidup dalam kemustahilan. Bagaimana yang mustahil dapat menjadi mungkin dalam hidup mereka? Fokus utama Kisah Para Rasul pasal 2 adalah Roh Kudus. Mereka mampu melakukan hal yang mustahil itu bukan karena mereka hebat tetapi karena Allah. Inilah penggenapan Matius 19 ayat 26, bagi manusia hal ini mustahil tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin. Apa yang gagal dilakukan oleh orang kaya muda itu (yaitu menjual segala miliknya), berhasil dilakukan oleh jemaat gereja mula-mula.

Semoga ini menjadi satu inspirasi bagi kita bahwa kehidupan yang dijalani lewat kuasa Roh Kudus senantiasa akan dapat mengerjakan hal-hal yang bagi manusia tidak mungkin. Dan tidak kira apakah latar belakang kita, yang pasti kita adalah warga kerajaan surgawi, dan hanyalah "hukum" Raja dari Kerajaan surgawi yang berlaku bagi kita. Apakah hukum Raja itu atau yang disebut sebagai the royal law oleh rasul Yakobus? Rasul Yakobus menulis di kitab Yakobus pasal 2, ayat 8 bahwa hukum raja (yang diterjemahkan ITB sebagai hukum utama) adalah, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Jadi apakah kita berbudaya barat atau timur, di mata Tuhan tidak ada yang lebih unggul dari budaya kasih.

Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org

Adakah Hari Esok Bagimu?

Minggu, 07 Juli 2013

Di dalam Literatur para rabi Yahudi, seorang Rabi yang bernama Eliezer mengajarkan, "Bertobatlah satu hari sebelum kematian Anda". Para muridnya bertanya, "Tetapi bagaimanakah manusia tahu di hari apa ia akan mati?" Rabi yang bijaksana itu menjawab, "Karena itu, Anda harus bertobat hari ini. Mungkin hari esok Anda akan mati. Dengan demikian manusia harusnya bertobat setiap hari!"
Bukankah ini satu fakta kehidupan? Kita tidak tahu kapan pengembaraan kita di dunia ini akan berakhir. Hari esok belum tentu menjadi milik kita.

Di zaman ini nyawa seolah-olah sudah tidak punya harga lagi. Untuk alasan sepele manusia akan saling membunuh. Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput kita. Baru-baru ini di daerah Ancol, Jakarta, hanya gara-gara suara gemuruh knalpot sepeda motor, seorang pemuda bernama Sunarto dikeroyok hingga tewas. Karena merasa terusik dengan suara bising sepeda motor korban, seorang bapak yang sedang bersantai di depan rumahnya langsung mengambil sebatang galah dan menghadang sepeda motor yang berisik itu. Persoalan sepele inilah yang memicu percekcokan yang akhirnya meragut nyawa pemuda yang baru berumur 27 tahun ini.

Saya pasti Sunarto sama sekali tidak menyangka bahwa tanggal 1 April 2006 merupakan hari terakhir baginya di dunia ini. Pada malam minggu itu ia hanya mau mengunjungi bibiknya yang rumahnya tidak jauh dari kontrakannya. Sama sekali tidak diduganya bahwa itu akan merupakan kunjungannya yang terakhir.

Di pertengahan Februari yang lalu, diberitakan di koran tentang seorang janda tua yang dibunuh oleh cucunya sendiri saat ia sedang tidur pulas. Dengan kejam cucunya mengorok leher korban hanya gara-gara cucunya kesal karena dimarahi setelah kedapatan mencuri rokok di kios. Beberapa hari yang lalu juga diberitakan di New York Times, tentang seorang anak yang membunuh ibunya hanya karena keadaan rumah yang berantakan dan tidak terawat!

Membaca tentang tragedi demi tragedi yang berlangsung setiap hari di setiap belahan dunia; apakah korban pembunuhan, kecelakaan lalu lintas atau perampokan, kita semakin diyakinkan bahwa sesungguhnya tidak ada pengharapan di dunia yang fana ini. Begitu murah dan tidak berarti nyawa seorang manusia. Jikalau kita hidup hanya untuk dunia ini maka kita menjadi orang yang paling patut dikasihani.

Menurut rasul Yakobus, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Dalam surat yang ditulisnya kepada bangsa Israel yang berada di perantauan, ia bertanya, "Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap."

Marilah kita hidup dengan membuat persiapan bagi hari esok yang kekal. Renungkanlah hikmat seorang Rabi Eliezer, bertobatlah setiap hari, kita tidak tahu apakah hari esok masih ada bagi kita. Sebaliknya kita harus berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."

Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org
 
Support : Kidung Online | Debrian Ruhut Blog | IL Cantante Choir
Copyright © 2013. Catatan Dari Meja Pendeta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger