Oleh Redaksi
Sadon hanya dapat duduk di dalam mobilnya memandang dari kejauhan pesta
pernikahan anak perempuannya. Ia khawatir
kehadirannya akan membuat para undangan merasa terganggu karena ia
mantan penderita kusta. Ia sudah terbiasa dengan penolakan dan dianggap
"najis" akibatnya penyakitnya. Sejak kecil ia menjadi bahan
olokan anak-anak yang lain. Sadon juga tidak bebas
berpergian karena pengemudi bis sering mengusirnya. Diperlakukan seperti
sampah adalah hal yang lazim baginya.
Sadon telah banyak menderita akibat dari penyakit
kusta maka sangatlah mengherankan mendengarnya berkomentar, "Saya harus
berkata bahwa saya bahagia karena mendapat penyakit ini." Philip Yancey
penulis buku Kristen tersohor yang sedang mewawancarainya tersentak dan
kembali bertanya, "Bahagia?"
"Ya, jika bukan karena penyakit kusta, saya akan
menjadi seorang pria yang mempunyai keluarga yang normal, mengejar
kekayaan dan status yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Saya tidak
akan pernah mengenal orang-orang mengagumkan seperti Dr Paul Brand, dan
saya tidak akan pernah mengenal Tuhan yang hidup di dalam dia."
Siapakah Dr Paul Brand yang membuat seorang penderita
kusta merasa bahagia mendapat kusta karena lewat penyakitnya yang
mengerikan itu ia dapat mengenal dia?
Dr Paul Brand adalah misionaris yang melayani di Sekolah Tinggi
Kedoktoran dan Rumah Sakit Kristen di Vellore, India selama sekitar 18
tahun. Walaupun sudah meninggalkan India dari tahun 1965, kasih dan
pelayanannya bersama istrinya, Margaret meninggalkan kesan yang begitu
mendalam di hati mantan pasien kusta yang dilayaninya. Seorang lagi
mantan pasien yang bernama Namo menggantung foto Paul di rumahnya dengan
catatan yang berbunyi, "Kiranya semangat yang ada di dalam dirinya hidup
di dalam diriku."
Dr Paul Brand banyak dikenali melalui buku karangan Philip Yancey, In
His Image (Sesuai Gambarnya) dan Wonderfully and Fearfully Made
(Diciptakan dengan Dahsyat dan Ajaib). Konsep asli kedua buku tersebut
diambil dari pengamatan dan pengalaman Paul sebagai ahli bedah dan ahli
biologi. Brand merupakan salah satu tokoh yang hebat di dalam dunia
medis karena sumbangannya dalam riset penyakit kusta dan prosedur
pembedahan tangan yang disebut dengan namanya sebagai penghormatan atas
jasanya. (Tulisan Philip Yancey tentang Dr Paul Brand dapat dibaca di
dalam buku Soul Survivor.)
Siapa Paul Brand itu tidak dapat dipisahkan dari warisan kedua orang
tuanya. Paul dilahirkan pada tahun 1914 di pergunungan Kolli Malai, di
selatan India tempat orang tuanya, Evelyn dan Jessie Brand melayani
sebagai misionaris di pergunungan terpencil yang disebut Pergunungan
Maut. Di desa yang kumuh dan terbelakang, tanpa sekolah elit yang bagus
Paul menemukan pendidikan awalnya dalam bidang medis. Ia sering harus
membantu kedua orang tuanya merawat dan mengobati penduduk desa yang
miskin dengan peralatan medis yang minim. Namun uniknya, pengalaman
awalnya dengan darah dan nanah membuat Paul merasa mual dan takut.
Selama bertahun-tahun ia mengelak untuk belajar kedokteran karena tidak
berani untuk berurusan dengan darah, nanah dan penyakit.
Setelah ayahnya meninggal dunia di pergunungan itu karena berulang kali
terserang penyakit malaria, ibunya coba membujuk Paul untuk menekuni
bidang medis. Kata ibunya, "Ayahmu selalu berharap memiliki gelar
dokter, bukannya hanya mengandalkan kursus pelatihan singkat.
Jika saja ia memilikinya…siapa tahu, mungkin ia masih
bersama kita. Ia akan tahu cara mengobati malaria itu." Ibunya
meneruskan untuk memberitahu peraturan baru di India yang melarang semua
orang kecuali dokter berijazah untuk praktek. Ibunya mengakhiri diskusi
tentang masa depannya dengan berkata, "Paul, ayahmu selalu bermimpi kau
akan meneruskan apa yang ia tinggalkan, dan kembali ke India sebagai
dokter sungguhan."
Dengan tegas Paul memotong percakapan ibunya, "Tidak, saya tidak mau
menjadi dokter. Saya tidak suka pekerjaan medis. Saya lebih suka bekerja
di bidang bangunan. Saya bisa membangun rumah, sekolah dan bahkan rumah
sakit." Paul tahu ia telah mengecewakan ibu dan almarhum ayahnya, tetapi
ia masih belum bisa memberitahu ibunya dan mungkin juga belum bisa
mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia bereaksi pada darah dan nanah.
Jadi akhirnya selama 4 tahun, Paul menekuni bidang bangunan, ia magang
sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang cat dan penyusun bata dan ia
sangat menyukainya. Paul tidak sabar untuk kembali ke India untuk
mempraktekkan keahliannya. Sebelum ia berangkat badan misi yang
mengutusnya menasihatinya untuk mengambil kursus tentang higiene dan
penyakit tropis seperti yang pernah diambil ayahnya.
Di sinilah tangan Tuhan mulai berkarya. Suatu malam saat ia ditugaskan
untuk membantu di rumah sakit seorang gadis muda korban kecelakaan
didorong ke unit gawat darurat. Di bawah lampu yang terang benderang
gadis itu kelihatan sangat pucat sama seperti patung lilin karena telah
kehilangan banyak darah. Paul sama sekali tidak mendeteksi denyutan di
pergelangan gadis itu dan tampaknya ia juga sudah tidak bernafas. Paul
yakin gadis itu sudah tewas. Seorang perawat memasang sebotol darah ke
tiang logam dan seorang dokter memasukkan jarum ke vena gadis itu.
Paul disuruh untuk mengamati botol darah yang mulai
mengalir sementara mereka bergegas untuk mengambil lebih banyak darah.
Dengan tangan yang gemetaran Paul memegangi pergelangan tangan gadis itu
dan tiba-tiba ia dapat merasakan denyut yang samar, satu getaran yang
nyaris tidak terasa. Botol darahnya berikutnya tiba, dan setelah
dipasang - sebuah bintik merah jambu muncul di pipi gadis itu.
Perlahan-lahan bintik kecil itu menyebar menjadi kemerahan yang indah.
Tubuhnya mulai bergetar dan kemudian kelopak matanya bergerak dan
terbuka. Akhirnya gadis itu memandang ke Paul dan dengan sangat terkejut
ia mendengar gadis itu berbicara, "Minta air."
Hal itu merupakan satu mukjizat bagi Paul. Orang mati dibangkitkan,
darah dan kedokteran dapat melakukan ini! Tuhan pada malam itu dalam
waktu satu jam sudah mengubah Paul, sesuai dengan doa dan pengharapan
ibunya, dan ketika ia menyelesaikan kursus singkat hatinya sudah begitu
didorong oleh keinginan batin untuk menekuni bidang medis.
Evelyn pernah menulis bahwa saat yang paling sulit baginya adalah ketika
ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada kedua anaknya yang harus
ditinggalkan di Inggris untuk meneruskan pendidikan mereka. Katanya,
"sesuatu mati di dalam saya" di hari saya harus mengucapkan selamat
tinggal kepada mereka. Hal itu merupakan ujian ketaatan yang paling
sulit dari Tuhan untuknya. Tetapi dengan berat hati ia tahu ia harus
melakukannya dan menyerahkan kesejahteraan anak-anaknya ke dalam tangan
Tuhan. Dan Tuhan memang telah dengan baik merawat dan membimbing jalan
hidup kedua anaknya walaupun sejak Paul berumur 9 tahun ia harus
berpisah dari orang tua. Evelyn meninggal dunia di pergunungan di India
di usia 95 tahun, di masa hidupnya ia berkesempatan menyaksikan
bagaimana Paul bukan saja mengikuti jejak ayahnya menjadi misionaris di
India tetapi berkat kejeniusannya dalam teknik bedah dan riset telah
membuat banyak terobosan baru yang membuat hidup banyak penderita kusta
menjadi lebih berarti. Tuhan telah melakukan jauh lebih banyak dari yang
pernah didoakan Evelyn buat anaknya dan sesuai dengan janjiNya, Tuhan
bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka
yang mengasihi Dia. (Roma pasal 8, ayat 28)
Evelyn pasti akan sangat senang jika ia dapat mendengar komentar Yancey
tentang anaknya di bukunya Soul Survivor. Sebagai jurnalis Yancey
sudah mewawancarai banyak tokoh yang terkenal: peraih hadiah Nobel,
Pulitzer, atlet Olympiade, musisi, politikus, pengusaha yang sukses
tetapi saat ia bertemu dengan Paul merupakan pertama kalinya ia
menemukan kerendahan hati yang tulus. Seorang yang jenius tetapi sangat
rendah hati, yang dengan keahlian sebagai ahli bedah ternama mengabdikan
diri bukan untuk memperkaya diri sendiri tetapi membantu kaum papa yang
tidak dapat membalasnya dengan kekayaan materil. Kata Yancey di lain
kesempatan, "Anda hanya perlu menemukan satu orang kudus untuk percaya.
Dan saya sudah menemukannya."
Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org
0 komentar:
Posting Komentar