Joseph Kim
Saya lahir dan dibesarkan di Korea
Utara. Meskipun keluarga saya senantiasa berjuang melawan kemiskinan,
namun saya selalu dikasihi dan diperhatikan terlebih dahulu karena saya
adalah anak terakhir dan satu-satunya anak laki-laki dari dua bersaudara
dalam keluarga. Ketika kelaparan hebat melanda pada tahun 1994, saya
berumur empat tahun. Saya dan kakak perempuan saya keluar mencari kayu
bakar dari pukul lima pagi dan pulang setelah tengah malam. Saya
berkeliling di jalan-jalan untuk mencari makanan, dan saya ingat saya
melihat seorang anak kecil yang digendong di punggung ibunya sedang
makan keripik dan saya merasa ingin mencuri keripik itu.
Kelaparan adalah aib. Kelaparan
adalah keputusasaan. Seorang anak kecil yang lapar tidak akan berpikir
tentang politik dan kebebasan. Pada ulang tahun saya yang ke-9, orang
tua saya sama sekali tidak dapat memberi saya makan. Meskipun demikian,
sebagai anak kecil saya dapat merasakan beratnya beban di hati mereka.
Pada saat itu, lebih dari satu juta orang-orang Korea Utara meninggal
karena kelaparan dan tahun 2013 ayah saya menjadi salah satu yang
meninggal karena kelaparan. Saya melihat ayah saya menjadi kurus dan
lemah, kemudian meninggal.
Di tahun yang sama pada suatu hari
ibu saya menghilang, lalu kakak saya mengatakan bahwa dia hendak pergi
ke China untuk mendapatkan uang dan dia akan kembali secepatnya dengan
membawa uang dan makanan. Karena kami tidak pernah berpisah dan saya
pikir kami akan kembali bersama lagi selamanya, saya sama sekali tidak
memeluk dia ketika dia pergi. Itu adalah kesalahan terbesar yang pernah
saya buat selama hidup saya. Namun sekali lagi, saya tidak tahu bahwa
itu akan menjadi perpisahan yang sangat panjang. Sejak saat itu saya
tidak pernah melihat ibu atau kakak saya lagi. Tiba-tiba saya menjadi
yatim piatu dan tuna wisma.
Kehidupan sehari-hari saya menjadi
sangat berat, tetapi sangat sederhana. Tujuan saya adalah menemukan
sepotong roti berdebu di tempat sampah. Namun itu bukan cara untuk
bertahan hidup. Saya menyadari bahwa mengemis bukanlah solusinya. Lalu
saya mulai mencuri makanan dari gerobak makanan di pasar ilegal.
Kadang-kadang saya melakukan pekerjaan kecil sebagai ganti makanan.
Sekali saya pernah bekerja selama dua bulan di tambang batu bara di
musim dingin, berada 33 meter di bawah tanah tanpa perlindungan apa pun
selama 16 jam per hari. Saya tidak luar biasa. Banyak yatim piatu lain
yang bertahan hidup dengan cara seperti ini, atau lebih buruk. Ketika
saya tidak dapat tidur karena sangat kedinginan atau sangat kelaparan,
saya berharap esok paginya kakak saya akan kembali dan membangunkan saya
dengan makanan kesukaan saya. Harapan itu membuat saya bertahan hidup.
Saya tidak bermaksud bermimpi muluk. Maksud saya, harapan itu yang
membuat saya percaya bahwa sampah berikutnya adalah roti, meskipun
biasanya bukan. Namun jika saya tidak mempercayainya, saya tidak akan
berusaha, kemudian saya akan mati. Harapan membuat saya hidup.
Setiap hari saya berkata kepada
diri saya sendiri, tidak peduli seberat apa pun keadaannya, saya harus
hidup. Setelah tiga tahun menunggu kakak saya kembali, saya memutuskan
pergi ke China untuk mencari sendiri kakak saya. Saya menyadari saya
tidak dapat bertahan lebih lama lagi dengan cara seperti ini. Saya tahu
bahwa perjalanan ini akan berbahaya, tetapi saya mempertaruhkan hidup
saya dengan cara baik. Saya dapat mati karena kelaparan seperti ayah
saya di Korea Utara, atau setidaknya saya dapat berusaha untuk hidup
yang lebih baik dengan melarikan diri ke China. Saya mempelajari bahwa
banyak orang mencoba menyeberangi perbatasan ke China di malam hari
supaya tidak terlihat. Para penjaga perbatasan Korea Utara kerap kali
menembak dan membunuh orang-orang yang berusaha menyeberangi perbatasan
tanpa ijin. Para prajurit China akan menangkap dan mengirim kembali
orang-orang Korea Utara, dan mereka akan menghadapi hukuman berat. Saya
memutuskan untuk menyeberangi perbatasan pada siang hari. Pertama,
karena saya masih di bawah umur dan saya takut gelap. Kedua, karena saya
tahu saya sudah mengambil risiko, dan karena tidak banyak orang yang
menyeberangi perbatasan pada siang hari, saya pikir saya dapat
menyeberangi perbatasan tanpa terlihat oleh siapa pun.
Saya memutuskan pergi ke China pada
tanggal 15 Februari 2006. Saya berumur 16 tahun. Saya pikir di China
keadaan akan lebih baik karena ada lebih banyak makanan di sana. Saya
pikir akan ada lebih banyak orang yang akan menolong saya. Namun
kehidupan di China lebih berat daripada di Korea Utara karena saya tidak
bebas. Saya selalu kuatir akan tertangkap dan dikirim pulang. Secara
ajaib, beberapa bulan kemudian saya bertemu dengan seseorang yang
menjalankan sebuah tempat perlindungan bawah tanah untuk orang-orang
Korea Utara, dan diijinkan untuk tinggal di sana, dan untuk pertama
kalinya setelah bertahun-tahun saya makan secara reguler. Pada akhir
tahun itu seorang aktivis menolong saya meloloskan diri dari China dan
pergi ke Amerika Serikat sebagai pengungsi.
Saya pergi ke Amerika tanpa
mengerti bahasa Inggris sepatah kata pun, tetapi pekerja sosial saya
berkata kepada saya bahwa saya harus melanjutkan pendidikan saya di SMU.
Waktu di Korea Utara, saya adalah murid yang bodoh. Saya hampir tidak
lulus Sekolah Dasar. Saya ingat saya berkelahi di sekolah sehari lebih
dari sekali. Buku dan perpustakaan bukan tempat bermain saya. Ayah saya
berusaha sangat keras memotivasi saya untuk bersekolah, tetapi tidak
berhasil. Pada satu titik ayah saya menyerah. Dia berkata, "Kamu bukan
anak saya lagi." Saya berumur sebelas atau dua belas tahun tetapi itu
sangat melukai saya. Meskipun demikian, motivasi belajar saya tidak
berubah sebelum dia meninggal. Jadi di Amerika, agak menggelikan ketika
mereka berkata saya harus melanjutkan pendidikan saya di SMU. Saya
bahkan belum pernah masuk SMP. Saya memutuskan untuk bersekolah hanya
karena mereka berkata demikian, tanpa berusaha keras. Namun suatu hari,
saya pulang dan ibu angkat saya membuat chicken wing untuk makan
malam. Selama makan malam saya ingin makan lebih dari satu potong
chicken wing, tetapi saya menyadari bahwa tidak cukup untuk semua
orang, sehingga saya memutuskan untuk tidak mengambil lebih. Ketika saya
melihat piring saya, sepotong chicken wing terakhir ada di piring
saya. Ayah angkat saya memberikan bagiannya kepada saya. Saya sangat
senang. Saya menatapnya di sebelah saya, dia hanya menatap saya balik
dengan sangat hangat, tanpa berkata sepatah kata pun.
Tiba-tiba saya ingat ayah kandung
saya. Tindakan kasih sederhana dari ayah angkat saya mengingatkan saya
akan ayah saya yang suka membagi makanannya kepada saya ketika dia
lapar, bahkan ketika dia sangat kelaparan. Saya merasa tercekik melihat
saya memiliki begitu banyak makanan di Amerika, tetapi ayah saya
meninggal karena kelaparan. Satu-satunya harapan saya malam itu adalah
memasak makanan untuk ayah saya dan malam itu saya juga berpikir apa
lagi yang dapat saya lakukan untuk menghormatinya. Jawabannya adalah
saya berjanji pada diri saya sendiri untuk belajar giat dan memperoleh
pendidikan terbaik di Amerika untuk menghargai pengorbanannya. Saya
bersekolah sungguh-sungguh dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya,
saya menerima penghargaan akademik untuk nilai yang sangat baik, dan
saya masuk dalam daftar dekan mulai dari semester pertama di SMU.
Sepotong chicken wing
mengubah hidup saya.
Harapan bersifat pribadi. Harapan
adalah sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh seseorang. Anda harus
memilih untuk percaya pada harapan. Anda harus membuatnya sendiri. Di
Korea Utara, saya membuatnya sendiri. Harapan membawa saya ke Amerika.
Tetapi di Amerika saya tidak tahu harus berbuat apa karena saya memiliki
kebebasan yang sangat berlimpah. Ayah angkat saya memberi sebuah arah
tujuan saat makan malam itu. Dia memotivasi dan memberi saya sebuah
tujuan di Amerika.
Saya tidak datang oleh diri saya
sendiri. Saya memiliki harapan, tetapi harapan itu saja tidak cukup.
Banyak orang yang menolong saya di sepanjang jalan untuk mencapai ke
sini. Orang-orang Korea Utara berjuang keras untuk bertahan hidup.
Mereka memaksa diri mereka sendiri untuk bertahan, memiliki harapan
untuk bertahan, tetapi mereka tidak dapat mewujudkannya tanpa bantuan.
Ini pesan saya untuk Anda.
Milikilah harapan untuk diri Anda sendiri, tetapi juga saling membantu.
Hidup mungkin berat untuk semua orang, di mana pun Anda berada. Ayah
angkat saya tidak bermaksud untuk mengubah hidup saya. Dengan cara yang
sama, Anda mungkin mengubah hidup seseorang dengan tindakan kasih yang
paling sederhana.
Sepotong roti dapat memuaskan
rasa lapar Anda, dan memiliki harapan akan membawa roti kepada Anda
untuk bertahan. Tetapi saya percaya bahwa tindakan kasih dan
kepedulian Anda juga dapat menyelamatkan kehidupan Joseph yang lain
dan mengubah ribuan Joseph yang lain yang masih memiliki kasih untuk
bertahan.
Pesan Joseph untuk kakak
perempuannya yang tidak dijumpainya lebih dari satu dekade.
Nuna, saya tidak berjumpa denganmu
lebih dari sepuluh tahun. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya
merindukanmu dan saya mengasihimu dan tolong kembali kepada saya dan
tetap hidup. Saya belum putus harapan untuk berjumpa denganmu. Saya akan
hidup dengan bahagia dan belajar giat hingga saya bertemu denganmu dan
saya berjanji saya tidak akan menangis lagi. Ya, saya akan menunggu
bertemu denganmu dan jika kamu tidak dapat menemukanku, aku akan mencari
kamu. Dan saya berharap bertemu denganmu suatu hari.
Pesan singkat untuk ibu Joseph:
Saya tidak menghabiskan cukup waktu
dengan Ibu, tetapi saya tahu Ibu tetap mengasihi saya dan Ibu mungkin
masih berdoa untuk saya dan memikirkan saya. Saya hanya ingin berterima
kasih karena telah membawa saya ke dalam dunia. Terima kasih.
(Diterjemahkan dari TED Talks oleh
CPM)
Sumber: Cahaya Pengharapan Ministries www.cahayapengharapan.org
0 komentar:
Posting Komentar